SAMPIT – Pernyataan Edy Mulyadi tentang Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai bukan sikap berdemokrasi, akan tetapi masuk ranah hukum pidana.
Viralnya pernyataan Edy Mulyadi melalui berbagai media sosial yang isi pemindahan IKN ke Kaltim yang disebut tempat jin buang anak, tempat tinggalnya monyet. Kemudian dia mengatakan, IKN di Kaltim tak punya pasar dalam soal pengembang, kecuali pasarnya kuntilanak dan genderuwo. Pernyataan tersebut dapat reaksi keras dari warga Kalimantan dan berbagai masyarakat Indonesia.
Karena suatu sikap yang berlawanan dengan konstitusi (inkonstitusional) dan menimbulkan ujaran kebencian, sara/penghinaan, membuat kegaduhan, merupakan tindakan kejahatan yang bisa dikenakan pasal berlapis yaitu pasal 156 KUHP Jo pasal 28 (2) UU ITE. “Pernyataan pendapat bahkan adanya perbedaan pendapat sekalipun, dalam Negara demokrasi dijamin undang-undang, namun dalam konteks berkehidupan berbangsa dan bernegara bahwa masyarakat diikat oleh peraturan dan perundang undangan lainnya yang lebih luas, artinya bahwa Negara tidak hanya sebatas mengatur tentang kebebasan berpendapat atau penyampaian aspirasi saja, namun berbagai aspek kehidupan lainnya,” kata Pemerhati Demokrasi Dan Hukum, Rezmania Dalila Gumarang, Selasa 25 Januari 2022.
Mahasiswi Fakultas Hukum JayaBaya Jakarta ini juga menjelaskan, substansi penyampaian aspirasi atau pendapat tidak boleh dicampur adukan dengan sikap yang bertentangan atau perbuatan melawan hukum. “Edy Mulyadi tidak suka atau keberatan terhadap IKN di Kaltim yang sudah berdasarkan hasil politik dan kajian yang sebelumnya juga ada proses sosialisasi sebelum undang-undang IKN itu diparipurnakan atau disahkan DPR, seharusnya pada saat itulah di perjuangan aspirasi penolakan yang harus dilakukan Edy Mulyadi,” tegasnya.
Bahkan lanjutnya, kalau perlu demo besar-besaran terhadap DPR dan Pemerintah sebelum palu sidang paripurna DPR diketuk mengesahkan undang – undang IKN tersebut, supaya terlihat fakta adanya masa penolakan IKN karena alasan pemindahan IKN tidak layak di Kaltim. “Kalau Edy Mulyadi paham tata cara, mekanisme berdemokrasi atau penyampaian pendapat berdasarkan konstitusi dan perundang – undangan, namun bukan sesukanya, membabi buta tak tau arah, sehingga melanggar rambu-rambu berbangsa dan bernegara, yang diduga melakukan tindak pidana ujaran kebencian, sara, serta membuat kegaduhan/keonaran,” ujarnya.
Sekalipun tambah Delila, bahwa RUU IKN sudah disahkan DPR sebagai undang – undang, tidak menutup upaya Edy Mulyadi untuk menyampaikan penolakan undang undang IKN tersebut melalui saluran yang konstitusional yaitu melakukan gugatan uji materil terhadap undang undang IKN di Mahkamah Konstitusional (MK). “Bukan malah menyampaikan keberatan teriak-teriak dimuka umum dan di viralkan melalui media sosial, itu bukan pada tempatnya alias liar yang sifatnya provokatif, intimidatif atau merupakan teror politik yang bisa menimbulkan kekacauan, kegaduhan,” katanya.
Bahkan Delila mencontohkan, seperti yang akan dilakukan oleh Prof Din Syamsudin menggugat undang-undang IKN hang baru disahkan tersebut melalui uji materil di MK, hal tersebut bisa menjadi contoh bagi Edy Mulyadi dalam berdemokrasi dan/atau melakukan hal serupa langkah atau upaya hukum seperti yang dilakukan oleh Prof Din Syamsudin, dan kalau berhasil atau dikabulkan MK gugatan tersebut, maka Kaltim batal menjadi IKN. Penolakan Edy Mulyadi terhadap pemindahan IKN ke Kaltim menurut Delila juga substansialnya harus jelas, misalnya apakah karena kualitas kajian akademisnya yang bersifat teknis tidak layak atau karena kurang partisipasi publik dalam proses sosialisasi atau proses pengesahan undang undang IKN cacat formil dan materil?. “Namun yang disampaikan Edy Mulyadi substansialnya tidak jelas, bahkan parameter yang dipakai dalam menguji hasil kajian yang dibuat Pemerintah Pusat tersebut, termasuk masalah proses politiknya,” tegasnya.
Menurutnya, Edy Mulyadi hanya mengkaitkan dalam soal pengembang (developer) yang tidak memiliki pasar, padahal dalam kajian jelas Pemerintah membutuhkan seperti ASN, TNI, POLRI, dan lembaga lainnya yang jumlahnya jutaan jelas membutuhkan tempat hunian atau rumah tempat tinggal. Belum lagi ujarnya, dari kalangan dunia usaha yang merupakan ambil bagian dalam pembangunan tersebut yang merupakan satu kesatuan yang tidak terlepaskan, dan akan menimbulkan pasar potensial atau ruang usaha atau investasi dan pekerjaan baru yang besar bagi masyarakat lokal maupun luar, hal ini merupakan multiplayer efek dari pembangunan IKN tersebut nantinya.
Delila menyarankan agar berjiwa besarlah Edy Mulyadi untuk meminta maaf kepada masyarakat Kalimantan yang menjadi korban akibat sikapnya dengan mengakui kesalahannya tanpa adanya sisi lain embel-embel pembenaran diri. “Diluar permasalahan hukum yg harus dipertanggung jawabkannya, dan harus disadari Negara kita ini berbentuk Negara kepulauan, maka itu disebut wawasan nusantara yang merupakan bentuk cara memandang bangsa Indonesia terhadap Negara yang berbentuk kepulauan tersebut,” pungkasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post