SAMPIT – Mantan Anggota DPRD Kotawaringin Timur (Kotim) Shaleh turut menyoroti permasalahan yang terjadi di DPRD Kotim. Ia dengan tegas mengatakan, jangan sampai anggota DPRD setempat diremehkan lantaran tidak bisa menyelesaikan permasalahan internal.
Kisruh akibat pemilihan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) masih terus berlanjut sehingga terjadi kevakuman di lembaga, aktivitas rapat paripurna, rapat-rapat kerja dengan mitra kerja di stop total beserta kegiatan lain, entah sampai kapan akan berakhir.
Sehingga hal ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi Shaleh yang juga pengamat politik. Ia menyesalkan terjadinya kisruh dan merasa malu dengan kejadian langka, aneh dan ajaib ini.
“Poros atau koalisi partai sesuatu yang lumrah terjadi di dunia politik, sehingga melahirkan keputusan politik yang legitimit, berwibawa pro rakyat yang berlandaskan moral dan aturan yang berlaku, jangan sampai lembaga DPRD tidak dianggap dan tidak dihargai eksekutif maupun masyarakat pemilih karena tidak mampu menyelesaikan persoalan remeh temeh yang sepele serta sederhana (nafsu politik) ini,” tegasnya, Sabtu 5 Maret 2022.
Lanjutnya, permasalahan ini seperti tidak bisa dikompromikan lewat instrumen atau dinamika di Dewan, sehingga menimbulkan saling sandera menyandera dan masyarakat menjadi korban program percepatan pembangunan tersendat dan bahkan tidak bisa jalan.
“Lalu muncul asumsi atau masyarakat beranggapan pantas saja tidak peduli dengan nasib masyarakat di tengah pandemi Covid-19, naiknya harga gas elpiji dan langkanya minyak goreng harusnya menjadi fokus dan dipikirkan bersama,” ujarnya.
Tambahnya, sebagai perwakilan rakyat seharusnya peduli dan empati dengan persoalan masyarakat bukan energi dihabiskan untuk perebutan jabatan AKD dengan ego sentris yang tidak berujung. Agenda-agenda besar telah menanti seperti pelantikan PAW, penyampaian hasil reses, musrenbang, KUA PPAS dan lainnya, belum masalah ekonomi, keuangan daerah yang belum stabil sehingga banyak pekerjaan proyek 2021 sudah selesai pengerjaan tapi belum terbayar, tunjangan ASN yang belum dibayar karena kosongnya kas daerah.
“Bahkan terbaru naiknya BBM yang semakin menyulitkan masyarakat, persoalan-persoalan itu perlu perhatian, kebersamaan di legislatif untuk memberi solusi cerdas pada eksekutif untuk meningkatkan APBD sehingga utang daerah bisa diselesaikan,” kata Shalaeh.
Serta ujarnya, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Menurutnya persoalan AKD adalah masalah sepele, yang harus diselesaikan oleh internal Dewan, yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun dengan mengacu pada undang-undang dan tata tertib dewan dengan jalan kompromi politik lintas parpol dengan melibatkan 7 fraksi yang merupakan perpanjangan tangan yang ada di DPRD.
“Tidak ada istilah oposisi tanpa masuk AKd (kalah) atau sebaliknya masuk AKD mendapat jabatan dianggap menang. Jangan sampai ada istilah menang kalah atau diakomodir atau tidak sehingga menimbulkan persoalan dan saling curiga, tidak nyaman, perpecahan saling gontok-gontokan sehingga menghilangkan rasa kebersamaan di lembaga. Saya meminjam istilah RG (Dungu politik) akhirnya krisis kepercayaan pada lembaga yang terhormat,” ujarnya.
Berpeganglah ujarnya, pada prinsip dewan sebagai kumpulan orang-orang terpilih, terhebat, terpintar sehingga disebut terhormat yang mampu dan siap menyelesaikan persoalan yang kecil sampai yang besar, tersulit sekalipun sehingga layak disebut dewa penyelamat yang mampu menyelesaikan segala persoalan masyarakat termasuk persoalan di internal lembaga.
Sarannya, tanggalkan ego masing-masing dengan duduk bersama untuk mencapai kesepakatan dan kesepahaman baru, sehingga tidak ada menang atau kalah, benar-salah, sesuai tatib atau tidak sesuai tatib. Sehingga dengan demikian prinsip kolektif kolegial betul-betul tercermin yang bisa dibaca dan menjadi acuan dalam mengambil keputusan serta bisa dipertanggungjawabkan.
Bertahan dan berjalan dengan keputusan yang salah atau tidak pada rel yang benar maka akan tersesat secara nyata “kedunguan kolektif” yang berimbas hukum di kemudian hari. “Oleh krn itu proses-proses politik yang melahirkan keputusan politik di lembaga selalu mengacu pada dua hal yaitu de facto dan de jure sehingga tidak terjadi perdebatan dan persoalan dikemudian hari, tidak terjadi gugat menggugat apalagi boikot memboikot atau ancam mengancam lalu lembaga jadi rapuh dan tidak berwibawa,” tegasnya.
Tentu kejadian sedang terjadi akhirnya masyarakat melihat lembaga DPRD Kotim ada tapi sesungguhnya tidak ada. Masyarakat menurutnya, yang mau mengadukan persoalan tang dihadapi dan menyampaikan aspirasi jadi buntu karena AKD masih berpolemik. Sementara anggota DPRD ada tapi tidak bisa bekerja. “Tempat kerjanya Dewan berada di komisi-komisi dan badan-badan, semua anggota DPRD harus masuk di dalamnya dan didistribusi,” pungkasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post