Oleh: Nur Rahmawati, S.H***
Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Tak bisa dimungkiri, banyaknya sengketa yang terjadi antara warga dan pengusaha makin bertambah setiap tahunnya. Terhitung pada tahun 2022 saja, sudah tercatat 212 konflik agraria berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (Katadata.co.id, 6-11-2023).
Di Balik Topeng Pembangunan
Pembangunan digadang-gadang oleh pemerintah, menjadi alasan ekspansi lahan yang berujung Konflik agraria antara warga dan pengusaha atau perusahaan.
Terlebih, kemudahan yang disediakan oleh pemerintah baru-baru ini, seperti dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023) oleh Joko Widodo (Walhi.or.id, 21-12-2023).
Lebih lanjut, adanya aturan dibukanya peluang investasi bagi siapa saja di bidang agraria ini membuka kran eksploitasi besar-besaran, sehingga berdampak terancamnya ruang hidup masyarakat juga eksploitasi potensi perempuan dan generasi. Hal ini salah satu sebab direstuinya rencana aksi nasional perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) Tahun 2019-2024 yang telah ditandatangani Joko Widodo, maka telah legal investor bebas menguasai lahan yang rata-rata hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit (Menpan.go.id, 28-11-2019).
Kapitalisme Biang Keroknya
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sistem kapitalisme menjadi biang kerok atas semua permasalahan di negeri ini, tidak terkecuali persoalan lahan. Sistem yang menjadikan asas manfaat sebagai fondasi dalam mengambil keputusan akan membawa pada kesengsaraan rakyat.
Apa pun yang membawa manfaat atau keuntungan, baik materi seperti uang maupun jabatan atau kekuasaan akan ditempuh dan diperjuangkan, meski menghalalkan segala cara. Maka tak heran, jika rakyat akan dikorbankan demi tercapainya tujuan tersebut.
Regulasi lahan oleh pemerintah sepanjang ini tidak sama sekali menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Aturan manusia ini sarat akan kelemahan dan pengkhianatan terhadap amanah yang telah dipikul oleh mereka.
Dibukanya peluang investasi untuk para pengusaha menambah deretan bukti, bahwa rakyat benar-benar diabaikan keberadaannya. Dirampasnya ruang hidup mereka demi ekspansi lahan untuk pembangunan, ataupun untuk membuka lahan.
Pada sistem kapitalisme demokrasi pemerintah menempatkan dirinya sebagai regulator yaitu pembuat aturan yang telah dibahas sebelumnya keberpihakannya kepada investor. Kemudian, pemerintah juga sebagai fasilitator yang berperan hanya memfasilitasi pihak-pihak yang berkepentingan, sayangnya lagi-lagi pihak yang kuat dimenangkan.
Tidak sampai di situ, sengketa lahan yang terus terjadi bahkan hampir di setiap wilayah yang mengalami ekspansi lahan belum juga mendapatkan keputusan final. Banyaknya korban jiwa dan luka-luka menambah catatan kelam sengketa lahan, seperti yang terjadi di Rempang, Riau, bahkan mereka dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka yang telah turun temurun menjadi hunian dan hidup mereka.
Sungguh miris! Lain halnya yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah, adanya bentrokan yang memakan korban meninggal dunia dan luka-luka dari pihak masyarakat, di mana bentrokan yang terjadi antara warga dan pemilik perusahaan sebab adanya janji menyejahterakan warga setempat oleh perusahaan, tidak kunjung terealisasi (Umm.ac.id, 16-10-2023).
Hal tersebut, nyatanya meninggalkan kepiluan yang dirasakan masyarakat. Bagaimana tidak, seharusnya sengketa yang terus terjadi berkenaan dengan lahan, tidak terus bertambah dan dapat diselesaikan segera, mengingat pemerintah memiliki peran sebagai pelindung masyarakat, tapi justru sebaliknya, keberpihakan pemerintah bukan pada rakyat, terlihat dari dibuatnya aturan yang memudahkan perampasan tanah rakyat di balik topeng pembangunan yang nyatanya bukan untuk kepentingan rakyat ataupun menguntungkan rakyat.
Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya.
Bahkan jika kita perhatikan adanya aturan UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan kekayaan alam Indonesia diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat hanya isapan jempol. Lantas, mengapa kita masih berharap dan percaya dengan sistem kapitalisme demokrasi untuk menyelesaikan problematika saat ini?
Lingkungan Terdampak Ekspansi Lahan
Selain banyaknya konflik yang terjadi sebab ekspansi lahan oleh pihak perusahaan, ada pula dampak lain yaitu kerusakan lingkungan.
Islam Solusi Tepat
Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Proyek Pembangunan apa pun dalam negara Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan didukung kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan rakyat. Sejatinya kepemilikan yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah Swt. sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya yang artinya
”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42). Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum Nya. Hal ini merupakan perintah langsung dari Allah, untuk pengelolaannya menggunakan hukum Islam itu sendiri.
Islam mengatur kepemilikan tersebut terbagi menjadi tiga yaitu Pertama kepemilikan individu adalah bentuk kepemilikan yang boleh dimiliki secara individu seperti emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. (TQS Al ImranImran: 14). Kedua, kepemilikan negara adalah bentuk kepemilikan yang hanya boleh dimiliki oleh negara untuk dikelola negara di Baitul Mal seperti Fa’i, Kharaj dan Jizyah.
Ketiga, kepemilikan umum adalah bentuk kepemilikan yang tidak boleh dimiliki oleh individu maupun negara. Kepemilikan ini dikelola oleh negara dan dikembalikan 100% kepada rakyat. Misalnya Tanah, Air dan Udara. Sebagaimana terdapat pada hadis berikut, Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah ﷺ. bersabda,
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ
“
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”
Berkenaan dengan lahan saat ini maka masuk dalam kepemilikan umum, artinya tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang ataupun negara, tapi diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Kalaupun negara menguasai hanya sebagai pihak yang mengelola dan seluruh hasilnya diserahkan untuk rakyat. Jadi, sangat jelas bahwa hukum merampas lahan atau tempat tinggal untuk ekspansi lahan atau dengan alasan apapun hukumya haram dilakukan, sebagaimana hadis menyatakan
“Barang siapa yang mengambil atau merampas hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari dan Muslim). Sehingga, kembali kepada Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan segala persoalan hidup, tidak terkecuali masalah konflik lahan. Wallahu’alam bishawab !
(Penulis merupakan Pendidik dan Pengamat Kebijakan di Kabupaten Kotawaringin Timur)
Discussion about this post