SAMPIT – Pengamat sosial politik di Kotawaringin Timur (Kotim) yakni M Gumarang menilai, memperkuat otonomi daerah lebih realistis jika dibandingkan dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan.
Otonomi Daerah yang sudah dijalani sekitar 17 tahun sejak tahun 2004 yg lahirnya berdasarkan undang undang no.32 tahun 2004 kemudian di amandemen undang undang no.12 tahun 2008, kemudian perubahan terakhir undang undang no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hal ini implementasi melaksanakan amanah Konstitusi UUD 1945 dan sekaligus menyikapi tuntutan reformasi mahasiswa tahun 1998.
Dalam rangka perbaikan sistem Demokrasi dan Politik yang merupakan landasan melaksakan pembangunan nasional maupun daerah, dalam rangka mewujudkan percepatan, pemerataan pembangun menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menurutnya, perubahan setelah adanya otonomi daerah memang dapat dirasakan kemajuannya terutama setelah adanya pemekaran provinsi dan kabupaten dan kotamadya tak bisa di pungkiri adanya perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di daerah. “Baik fisik maupun non fisik di segala aspek, baik aspek sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi informasi ataupun kemajuan peradaban yang membawa masyarakat di daerah lebih maju dari masa lalu sebelum adanya otonomi daerah diberlakukan,” kata Gumarang, Selasa 16 November 2021.
Lanjutnya, selain adanya kemajuan daerah karena diterapkannya otonomi daerah, tapi juga tidak memungkiri adanya otonomi daerah sebahagian kecil jalannya tertatih tatih dalam upaya mendewasakan diri, karena faktor SDM dan pengaruh kebijakan Pemerintah Pusat yang kadang tidak konsisten, atau dikenal dengan istilah otonomi setengah hati serta juga akibat pengaruhi euphoria para pemimpin daerah merasa jadi raja kecil akhirnya lupa diri menyalahgunakan wewenang (Abuse of Power) dan korupsi. “Hal ini karena masih lemahnya pengawasan langsung terutama peran dan fungsi Akuntan Negara seperti BPKP, BPK, dan lemahnya pengawasan DPRD sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi pengawasan, budgeting, legislasi, serta masih lemahnya penegakan hukum seperti dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK khususnya di bidang pemberantasan korupsi yang merupakan sebagai lembaga vertikal Pemerintah pusat,” tegasnya.
Dikatakan Gumarang, merujuk pada Negara Indonesia yang berbentuk kepulauan (Archipelagic State) yang menganut konsep Wawasan Nusantara (Archipelagic Outlook) yang merupakan cara pandang, melihat dan mengenal jati diri sebagai Bangsa Indonesia terhadap Negara berbentuk kepulauan yaitu satu kesatuan cara memandang baik dari aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan keamanan. “Maka cara pandang bangsa Indonesia terhadap negara berbentuk kepulauan yang dimaksud wawasan nusantara adalah sangatlah tepat dan begitu juga dengan penerapan otonomi daerah sangatlah ideal dibandingkan dengan membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru yang rencananya di Kalimantan timur tersebut,” ungkapnya.
Rencana pemindahan IKN menurutnya, selain kurang cocok karena negara indonesia berbentuk kepulauan bukan berbentuk daratan dan/atau satu hamparan seperti negara negara luar Amerika Setikat, Brasil Rusia, Australia, India dan lainnya rata-rata melakukan pemindahan IKN satu daratan atau hamparan antara IKN lama dan IKN baru dengan karakteristik masyarakat tak jauh beda terutama aspek sosial, ekonomi, budaya, sejarah, serta mobilitas barang dan orang lebih tak terlalu jadi masalah yang krusial. Sedangkan pemindahan IKN terhadap Negara kepulauan nampak bisa mengalami kendala serius secara proses politik untuk mendapatkan dukungan DPR, karena anggota DPR secara personal diperkirakan banyak tidak mendukung dengan sendirinya berimbas langsung kepada partai atau fraksi yang ada di DPR, hal tersebut dikarenakan Wawasan Nusantara belum mampu memberikan kontribusinya terhadap kebutuhan Negara yaitu pemindahan IKN.
Karena Wawasan Nusantara semantara ini hanya aspek hukum dan pertahanan keamanan yang bersifat absolut karena sifatnya memaksa, sedangkan aspek lainya masih bersifat subyektif, yang dalam hal ini masyarakat masih membutuhkan pendalaman pemahaman, penghayatan, pengamalan tentang apa itu wawasan nusantara yang dikaitkan dengan Bhineka Tunggal Ika yang terdapat pada Lambang Negara Burung Garuda. “Maka itu disarankan pemerintah pusat lebih baik memperkuat, menyempurnakan otonomi daerah yang lebih cocok dengan bentuk Negara kepulauan (Archipelagic State) dengan konsep Wawasan Nusantara (Archipelagic Outlook) dengan memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengatur, mengurus daerah lebih leluasa terutama dibidang ekonomi dan keuangan,” ujarnya.
Pemerintah pusat tambah Gumarang, harus menghilangkan sifat sistem pengelolaan keuangan yg bernuansa seakan jadi bandar sehingga sering menimbulkan biaya tinggi pemborosan, munculnya mafia anggaran, banyaknya broker anggaran, birokrasi yang berbelit-belit dan risiko lainnya. Disatu sisi pemerintah pusat harus melakukan penguatan (Revitalisasi) terhadap peran dan fungsi Akuntan Negara yaitu BPKP, BPK dan penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, dan/atau semua yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Faktor pertimbangan lain tingkat skala ekonomi terbesar di Indonesia dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ada 10 besar Kabupaten/Kota, nomor 1 DKI yang paling mendominasi 2.599.174 miliar kemudian nomor 2 Kota Surabaya 544.594 miliar, nomor 3 Kabupaten Bekasi 305.343 miliar, nomor 4 Kota Bandung 264.522 miliar, nomor 5 Kota Medan 222.482 miliar, nomor 6 Kabupaten Bogor 220.325, nomor 7 Kabupaten Karawang 217.404 miliar, nomor 8 Kabupaten Sidoarjo 189.282 miliar, nomor 9 Kota Semarang 174.649 miliar, nomor 10 Kota Tangerang 163.950 miliar, hasil data Badan Pusat Statistik tahun 2019. “Dilihat dari tingkat skala ekonomi tersebut khususnya PDRB DKI sangat mendominasi apa lagi bila digabung dengan sekitarnya Bekasi, Karawang dan Tangerang maka semakin jauh daerah lain tertinggal, dan Kota Medan satu-satunya yang masuk 10 besar di luar daerah jawa, dengan indikator melalui tingkat skala ekonomi tersebut menunjukan percepatan pembangunan dan pemerataan perlu ditingkatkan di setiap daerah Indonesia melalui penguatan (revitalisasi) Otonomi Daerah,” tegasnya.
Termasuk masalah penyebaran penduduk merupakan pengaruh besar bilamana meningkatnya PDRB di setiap daerah otonomi dengan sendiri terjadi transmigasi mandiri khusus penduduk asal jawa yg tingkat kepadatan penduuk sangat mengkhawatirkan kedepannya yang terancam tak akan ideal lagi antara rasio jumlah penduduk dengan luasan wilayah dan semakin terhimpitnya ruang pekerjaan ataupun usaha dan ekonomi, belum lagi ditambah rawannya bencana alam yang sering menimpa pulau Jawa, Bali dan Sumatera. “Dengan demikian nanti tidak ada lagi kemajuan dan kesuksesan pembangunan identik dengan ibu kota Jakarta atau kota tertentu atau dengan istilah masyarakat mulai dulu yaitu mengadu nasib identik dengan ibu kota negara Jakarta, image itu harus dihilangkan dalam mindset masyarakat, menghindari konsentrasi atau penumpukan penduduk pada sebuah kota, karena PDRB tidak lagi didominasi oleh DKI sekitarnya dan jawa pada umumnya tapi akan terjadi peningkatan PDRB dan menyebar, merata ke daerah otonomi daerah lainnya, akibat dari penguatan (revitalisasi) otonomi daerah tersebut,” pungkasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post