SAMPIT – Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta yang disampaikan Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk Aliansi Milenial Kotawaringin Timur (Kotim) yang dilaksanakan di Cafe Forest Sampit, Senin 12 Agustus 2019.
Pada diskusi yang bertema “Pindah Ibu Kota dan Provinsi Kotawaringin Otonomi Khusus Perlukah” yang disampaikan narasumber, Presidium Pemekaran Provinsi Kotawaringin, Akademisi, Nasionalis, Aktifis, Mahasiswa, Wakil Rakyat, Organisasi Masyarakat Adat, Pemerhati Ekonomi, Sosial, Politik dan komunikasi, menyoroti tentang aspek otonomi daerah.
Namun yang paling kritis disoroti dalam kesempatan tetsebut yakni terkait pemekaran Provinsi Kotawaringin yang terdiri dari lima kabupaten diantaranya Kotawaringin Timur (Kotim) Kotawaringin Barat (Kobar), Seruyan, Sukamara dan Lamandau.
Ketua Presidium Dewan Pemekaran Provinsi Kotawaringin (DP2K) Kotim, M.Arsyad mengatakan sejatinya pemindahan ibukota ke Kalimantan Tengah (Kalteng) akan membawa dampak positif bagi masyarakat. Dari situ, berdasarkan kajian ilmiah, Kalteng kemudian membentuk provinsi baru yakni Provinsi Kotawaringin tentu saja akan menjadi provinsi termaju di Indonesia.
Dicontohkan, seperti sejumlah pemekaran kabupaten di Kalteng. Nampak dan jelas kabupaten pemekaran tersebut lebih maju ketimbang bergabung dengan Kabupaten induk. “Kita ingin kemajuan. Namun harus didukung semua aspek dan masyarakat itu sendiri. Terwujudnya pemekaran daerah tidak lahir begitu saja, akan tetapi dengan semangat perjuangan bersama, bukan tidak mungkin Provinsi Kotawaringin akan terwujud,” jelasnya.
Salah satu Akademisi Kotim, Tasrifin Noor menyampaikan bahwa otonomi daerah jika dilihat dari bahasa Inggris yakni regional otonomi. Maksud dari otonomi yakni mandiri. Kemudian regional atau daerah yakni yang memiliki hukum dan memiliki wilayah.
“Jika kita gabungkan artinya setiap kabupaten setiap provinsi itu mandiri dan harus mempunyai hukum serta status wilayah. Tujuan dari otonomi daerah itu sendiri adalah untuk memperluas masalah politik berdasarkan para ahli, untuk pemerataan administratif dan pemerataan ekonomi,” jelasnya.
Lanjutnya, wacana pemindahan ibukota bertolak dari kondisi yang ada di Jakarta saat ini dengan posisi kota ke 9 terpadat di dunia. Jakarta memiliki penduduk sekitar 14 juta jiwa, di area seluas 661 kilometer persegi. Dengan kondisi itu, penduduk memiliki kesibukan tinggi sehubungan fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis, dan jasa. Sehingga sangat layak pemindahan ibukota dilakukan.
Sementara dari kalangan pemuda, Endra Rosana mengatakan sebagai gambaran di Kalimantan Tengah, rencananya akan ada Segitiga Emas kata pak gubernur dengan letak Kabupaten Gunung Mas, Katingan dan Palangka Raya. Untuk itu, jika terlaksana, pemindahan ibu kota sudah semestinya terencana dengan baik sehingga menghindari kerugian ekonomi di masa datang.
“Jika kita bicara masalah ibukota, kalau bicara secara administratif diwacanakan sebagai ibukota pemerintahan, Kalimantan Tengah salah satunya. Selain itu ada Kalimantan Timur dan Kalsel. Nah ini menjadi catatan kita juga apakah kita sudah siap atau belum. Kalau saya pribadi, memang dari segi sarana dan prasarana kita masih belum siap dan masih kalah dengan Kalimantan Timur,” terang Endra.
Hal yang sama juga diungkapkan Syiblunur. Menurutnya, menggaris bawahi aspek politik dari proses pemindahan ibu kota, tentunya tidak hanya menyangkut persoalan teknis, namun juga proses politik.
“Memindahkan ibu kota itu wajib adanya amandemen undang-undang dasar itu sampai sekarang masuk dalam program legislasi nasional. Kita pernah 4 kali mengajukan pemindahkan ibukota dan terahir mendem itu tahun 2002. Ketika terjadi pemindahan sebagai ibukota ini, artinya SDM mahasiswa kita sudah siap. Jangan sampai nanti seorang mahasiswa ini menjadi intelektual,” terangnya.
Lanjutnya dalam perspektif sosial itu sendiri jangan sampai ketika terjadinya penyebab pemindahan ibukota, terjadi pengangguran ditengah kota besar itu sendiri. Dengan demikian, pemindahan ibu kota baru memerlukan suatu undang-undang baru.
“Ini melibatkan proses politik antara pemerintah dengan DPR RI. Tapi lebih luas, prose politik itu tidak hanya sebatas pada tataran legislasi, tapi pada komitmen politik untuk mengawal kesepakatan yang akan dicapai,” pungkasnya. Dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantar M. Rabata menyampaikan, pemindahan ibu kota dari aspek masyarakat adat yang perlu dilindung perlu dibina dan perlu dihayati oleh pemerintah.
“Perlu kita cermati juga dan masyarakat adat memiliki hukum adat, itu bisa setara. Namun kemungkinan apabila menjadi ibu kota masyarakat kota, orang dari mana-mana sehingga ketika kita tidak peduli dengan masyarakat lokal masyarakat adat di akan terkikis habis dan tersingkirkan pendatang,” tandasnya.
Lanjutnya sebab itu memang perlu adanya pemekaran dan pengembangan suatu wilayah supaya maju. Tetapi tidak kalah penting ketika daerah itu berkembang dan bisa terbangun. “Mari kita sama-sama mempedulikan masyarakat lokal masyarakat adat Dayak, karena itu adalah bagian dari pada NKRI,” pungkasnya.
(ary/matakalteng.com)
Discussion about this post