SAMPIT – Anggota Komisi I DPRD Kotawaringin Timur (Kotim) Rimbun menanggapi kritikan sejumlah pihak kepada lembaga DPRD Kotim. Salah satunya lantaran pelanggaran tata tertib DPRD dalam pengesahan dua rancangan peraturan daerah yakni Perda Retribusi Pembangunan Gedung dan Pengelolaan Keuangan Daerah.
Rimbun menyebutkan, pelanggaran tatib DPRD itu sebenarnya dilakukan oleh pimpinan lembaga itu sendiri. Dimana dalam pengambilan keputusan tidak berpijak kepada tatib DPRD. “Kalau ditanya apakah tatib DPRD itu kerap dilanggar saya menilai memang begitu dan disitu pimpinan yang melakukan hal demikian,” katanya, Kamis 16 Desember 2021.
Dirinya juga menyebutkan bahwasanya tatib merupakan aturan internal DPRD Kotim. Ketika aturan itu ditabrak maka disitulah marwah lembaga itu dipertaruhkan. “Kami juga sebenarnya prihatin ketika aturan yang dibuat DPRD dan yang melanggar juga DPRD. Dan saya menilai apa yang disampaikan oleh masyarakat itu memang wajar, ekspektasi publik kepada lembaga memang tidak seperti apa yang terjadi,” tegasnya.
Legislator PDI Perjuangan ini menegaskan, agar pimpinan lembaga itu kembali menegakan marwah DPRD itu sendiri. Salah satunya dengan berpegang kepada tatib DPRD yang sudah disusun. “Garis permainan politik di lembaga itu jelas ada di tatib. Kalau mau kita pegang dan laksanakan semua tatib jangan mengajak anggota untuk bersama-sama melanggar tatib itu sendiri,”ujarnya.
Pengesahan dua raperda, yakni Retribusi Bangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut, diawali hujan interupsi dari anggota DPRD. Pasalnya, jumlah anggota yang hadir tidak sesuai ketentuan kuorum.
Sementara itu diketahui, Anggota Fraksi Demokrat SP Lumban Gaol meninggalkan ruang rapat karena pimpinan rapat bersikukuh melanjutkan kegiatan tersebut, meskipun jumlah anggota tidak mencapai minimal 2/3 dari total 40 anggota DPRD Kotim. ”Saya meninggalkan ruang rapat karena memang saya anggap tidak sesuai ketentuan dalam pengesahan produk hukum daerah,” kata SP Lumban Gaol.
Gaol mengatakan, jumlah anggota yang tercatat hadir hanya 25 orang. Namun,secara fisik hanya 18 orang, sehingga tujuh legislator yang namanya tertera dalam absensi dinilai fiktif. ”Saya bersikap begini karena lembaga DPRD adalah contoh untuk menjadi acuan penerapan aturan atau produk hukum daerah. Ketika produk hukum disahkan dengan pola semacam ini, bagaimana bisa jadi contoh? Tapi, karena kawan-kawan menyatakan dilanjut, makanya lebih baik saya keluar dari ruang rapat,” tandasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post