Oleh: M Yasir ***
Mereka bertiga. Dua anak perempuan dan satu anak lelaki. Tubuh mereka mengingatkan saya pada masa kanak-kanak, tidak lebih. Dalam perjalanan menuju Kuala Pembuang Kabupaten Seruyan, ketika kuda besi tua milik kantor yang saya tunggangi macet dua kali, mereka bangkit dari balik semak jalan raya lintas kabupaten yakni Kotawaringin Timur-Seruyan.
Saya terkejut sekaligus terheran. Betapa tidak, kemungkinan mereka sudah berada di situ sejak pagi. tapi untuk apa? Mereka tidak bermain. Ketika saya tanya, mereka tidak berkata suatu apa. Akhirnya saya pun duduk bersama mereka sembari meredam dahaga kuda besi tua yang payah itu.
Ketika kami bersitatap, ketiganya menunduk; mungkin mereka takut karena penampilan saya yang kusut. Namun, tidak. Salah seorang anak perempuan menghampiri, kemudian berkata: “Bisa kami bantu, Bang?” “Tidak usah,” jawab saya.
Tawaran itu seakan menampar wajah saya sebagai salah satu kaum terdidik. Betapa tidak, diantara orang-orang yang berselisihan dengan saya di jalanan, hanya mereka yang menawarkan bantuan. Kami terdiam. Ketika saya hendak bergegas, muncullah kelemahan saya sebagai manusia; rasa iba.
Saya pun mulai meraba-raba isi celana; harap-harap ada uang terselip di sana. Kantong pertama hanya putung rokok yang saya dapatkan. Namun pada kantong kedualah, saya dapatkan uang 20 ribu tergumpal rapat. “Ini, ambillah dan segeralah pulang!” kata saya. Mereka menolak.
Si anak yang tadi berkata, “Kami di sini bekerja menambal jalan yang bolong itu, Bang”. Apalagi yang bisa saya katakan jika seorang anak berkata demikian? Juga apa yang akan dikatakan negara? Tapi, tidak. Uang itu juga hak mereka. Aku merengkuh tangan anak itu dan menyematkan uang di kepalannya. Dan mencoba berlalu pergi.
Namun anak itu mengejarku, “Kami di sini bekerja, Bang.” “Saya juga, jadi sama kita. Ambillah!” Si anak terdiam. Saya terdiam. “Tidak jauh dari sini rumahku,” ucap si anak. Bagaimana dia bisa tahu apa yang hendak saya tanyakan? tapi saya tak menyerah, “Lekaslah pulang!” “Abang puasa?” tanya si anak.
Saya menggeleng, kemudian berkata, “aku punya cara sendiri ketika berpuasa. Sekarang pulanglah!” Mereka tak menggubris dan saya harus bergegas. Sialnya, ketika hendak melanjutkan perjalanan yang macet, di seberang jalan terbayang Dinas Sosial Kotawaringin Timur dan Dinas Perhubungan berdiri menonton kami.
Catatan: ketiga anak ini bekerja menambal jalan yang bolong di jalan lintas Kabupaten Kotim – Seruyan.
(M.Yasir adalah wartawan matakalteng.com yang bertugas di Kabupaten Seruyan)
Discussion about this post