SAMPIT – Sejak Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Pimpinan Megawati nampaknya keberadaan sejarah khususnya yang berkaitan dengan peristiwa G30S PKI semakin memanas karena ada tudingan upaya merubah sejarah maupun menghilangkankan versi sejarah yang sudah ada dibuat dimasa orde baru. Hal ini dikatakan oleh Pengamat Sosial dan Politik di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) M Gumarang.
Dikatakan, ada beberapa hal yang dihilangkan dalam buku pelajaran, bahkan pemutaran film memperingati peristiwa gerakan 30 September itu pun menjadi pro dan kontra. Hal ini dinilai dapat menghilangkan sejarah. “Padahal fakta sejarah 7 jenderal dan prajurit lainnya yang mati mengenaskan akibat kekejaman PKI pada 30 September 1965 yang dimasukan ke lubang buaya dengan keji,” kata Gumarang, Kamis, 30 September 2021.
Tidak hanya itu saja, kekejaman PKI pasca kemerdekaan tercatat, pemberontakan yang dipimpin oleh Amir Syarifudin dan Muso dalam merongrong Pemerintahan Presiden Soekarno terjadi di Madiun 18 September 1948. Banyak korban berjatuhan dalam peristiwa bengis ini. Pada Oktober 1965, terjadi pembantaian oleh Gerwani yang merupakan organisasi sayap dari PKI, hampir ratusan Pemuda Ansor di Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi yang dibunuh dengan cara diracuni. Lalu jasad 93 pemuda itu dibuang didalam sumur. Di desa dan kecamatan yang sama terjadi juga pembantaian terhadap 62 orang anggota Pemuda Ansor. Masih banyak lagi kebengisan yang dilakukan oleh yang terjadi di Pulau Jawa, sebab PKI dulunya berpusat di Jawa Tengah. “Bahkan sekarang ada perkembangan baru yang infonya didapat dari mantan Pangab TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, beberapa hari yg lalu bahkan beritanya viral, menyampaikan bahwa TNI terindikasi disusupi oleh PKI,” tegasnya.
Sehingga Museum Makostrad yang melukiskan proses komando penumpasan PKI dibongkar, yang berkaitan dengan patung yang hilang, namun sudah dapat penjelasan dari Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman tentang keberadaan patung tersebut. Menurutnya atas permintaan penggagasnya sendiri Letjen (Purn) AY Nasution untuk dilepas karena keyakinan agama almarhum Letjen (Purn). AY Nasution.
Menurutnya, dalam penulisan sejarah nasional bahkan sejarah di daerah pun tak lepas dari adanya unsur ketidaksempurnaan, kekurangan bahkan berlebihan atau kesalahan sengaja atau tidak sengaja karena dipengaruhi ketidak sempurnaan dalam menggali sejarah, karena dibatasi oleh data yang didapat, pengaruh kepentingan ego personal atau kelompok untuk menorehkan sejarah sebagai kelompok yang berjasa terhadap negeri ini, pengaruh kepentingan Politik dan Kekuasaan yang saling menjatuhkan satu sama lain dalam kesempatan berkuasa, untuk menunjukan kelompok merekalah yang berjasa atau memiliki andil besar terhadap berdirinya negeri ini dan patut untuk berkuasa, dan potensi yang sangat berbahaya juga adalah adanya pihak ke tiga mengelola manajemen konflik yang mengambil keuntungan atas adanya pertentangan sejarah G30S PKI tersebut atau memancing di air keruh.
“Sekarang kita harus berpikir jernih jujur, negarawan untuk kelangsungan kehidupan bangsa negara yang damai sejahtera jangan sejarah menjadi alat politik dan kekuasaan, serahkan saja sejarah tersebut pada ahli sejarah dengan penelitian dan kajiannya secara independen, profesional dan ilmiah, jangan seakan hanya saling menyalahkan, atau pembenaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, sudahilah politimik, kegaduhan politik dan kekuasaan yang mengaitkan dengan sejarah khususnya G30S PKI melalui ahli sejarah yang independen, profesional dan ilmiah,” ungkap Gumarang.
Lebih lanjut dijelaskannya, pada dasarnya PKI itu ada dan diantaranya telah melakukan pemberontakan atau merongrong Pemerintahan Presiden Soekarno yang sah pada 18 September 1948 di Madiun dengan pimpinan pemberontak Amir Syarifudin dan Muso yg mengorbankan tentara, polisi, tokoh masyarakat, ulama dan santri, namun dapat digagalkan dan ditumpas oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Kemudian membuktikan adanya PKI adalah dengan adanya korban keganasan, kebengisan 7 jenderal dibunuh dengan sadis yang dimasukan kedalam lubang buaya dan juga beberapa prajurit TNI dan Polisi juga menjadi korban pada saat G30S PKI tersebut dan itu fakta atas kebenaran peristiwa dan mungkin hanya proses alur cerita yang tidak terlalu prinsif tidak terlalu perlu dipersoalkan.
Disebutkannya, fakta-fakta tersebut tak bisa dipungkiri, bahwa prinsipnya PKI atau paham komunis itu ada di negeri ini pada masa lalu, PKI itu kejam tidak berprikemanusiaan dengan membunuh para Jenderal, Prajurit, Tokoh Masyarakat, Ulama dan Satri, PKI itu pemberontak, penghianat bangsa, merongrong kekuasaan Pemerintahaan Presiden Soekarno yang sah, dan PKI atau komunis itu anti Pancasila.
Jadi secara prinsip mendasar bahwa tak perlu lagi sejarah kebiadaban, kebengisan PKI dipersoalkan , diragukan, dan di lain sisi hak politik eks tapol dan eks keluarga PKI sudah dipulihkan atau diberikan oleh negara sebagai hak warga negara, tinggal bagaimana pemerintah harus betul betul konsisten dan tegas dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan TAP MPRS No.XXV tahun 1966 tentang Pembubaran atau Larangan terhadap Partai Komunis Indonesia maupun Larangan terhadap setiap kegiatan untuk penyebaran dan pengembangan paham komunis, marxisme leninisme di wilayah negara republik Indonesia.
“Tentu dengan memperhatikan perkembangan Zaman, Peradaban, Teknologi khususnya teknologi informasi dan Ilmu Pengetahuan sehingga dapat menghindari dari ancaman terutama infiltrasi (penyusupan) paham komunis,” pungkasnya.
(dia/matakalteng.com)
Reproduction and distribution of https://www.matakalteng.com/?p=58933 content to other sites is prohibited without permission.
More information, please contact us.
Discussion about this post