PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
PALANGKA RAYA – Stunting saat ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Mengatasi hal tersebut kesadaran masyarakat atas pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan balita sangat penting. Maka dari itu Pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan, salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 adalah meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak.
“Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius,” ujar Suyuti, Senin 30 November 2020.
Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengintervensi anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupannya adalah dengan Pelatihan Konseling Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) bagi petugas kesehatan sebagai promotor kesehatan kepada masyarakat.
“Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir (Inisiasi menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi umur 6 bulan, (3) Mulai memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih,” tegasnya.
Informasi yang utuh ini penting untuk disampaikan kepada kader posyandu sebagai sumber daya potensial yang langsung berhubungan dengan sasaran PMBA. Tenaga kesehatan sebagai fasilitator PMBA perlu dibekali informasi menyeluruh dan utuh tentang 1000 hari pertama kehidupan, sehingga mampu menyampaikan kembali kepada konselor PMBA di tingkat posyandu.
Hasil Riskesdas dari tahun 2018 menunjukkan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita Indonesia, antara lain 17,7% balita gizi kurang di Indonesia (BB/U), sebanyak 30,8 balita mengalami stunting (PB/U) atau (TB/U) dan 10,2 balita dalam kondisi kurus. Selain itu kondisi ibu hamil dalam kondisi Kurang Energi Kronik (KEK) dan sekitar 50% ibu hamil menderita anemia.
Suyuti juga menambahkan, menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan, sering sakit dan gagal tumbuh.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Mari Buat Para Ibu Kita Sehat sehingga kelak melahirkan generasi yang cerdas, dengan memberikan pemahaman kepada mereka betapa pentingnya menjaga kesehatan diri dan bayinya.
(vi/matakalteng.com)
Discussion about this post