PALANGKA RAYA – Mediasi antara Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan warga yang menuntut ganti rugi lahan yang terkena pembangunan pile slap atau jembatan layang di Desa Bukit Rawi, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) berakhir buntuk atau tidak menemui kata sepakat.
Pasalnya, pihak PUPR tetap bertahan dengan harga ganti rugi lahan Rp29 ribu permeter kuadrad, sementara masyarakat mengharapkan agar harga ganti rugi Rp100 ribu.
Dalam mediasi yang dilaksanakan di kantor Desa Tanjung Sanggalang, Rabu (2/10), kedua belah pihak tetap bertahan dengan argumennya masing-masing. Dimana PUPR Kalteng tetap berpijak pada harga yang telah ditetapkan oleh tim appraisal dan warga belum bisa menerima apa yang menjadi tawaran pihak PUPR.
Perwakilan warga, Jonedi mengatakan, dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2012 sudah dengan jelas mengatur mengenai ganti rugi ada musyawarah. Bahkan dalam aturan tersebut kata dia, tim penilai atau appraisal menentukan harga bukan final.
“Jadi dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 itu jelas, bukan tali asih tetapi ganti rugi. Harga yang ditetapkan tim penilai itu bukan final, tetapi sebagai dasar musyawarah untuk menetapkan ganti rugi, bukan final,” tegas Jonedi.
Kalau pemerintah tetap bersikeras bahwa hasil tim appraisal itu adalah harga final, ia menyebutkan ada pelanggaran aturan. “Kita tetap ingin bermusyawarah dan bernegosiasi, karena kita minta harga sekian itu juga bukan final, kita ingin bermusyawarah. Oke dari penilai Rp29 ribu dan dari kita pemilik tanah Rp100 ribu tapi bukan final,” tegasnya.
Dikatakan, jika mengacu pada aturan harga ada musyawarah mufakat, kemudian nilai ganti rugi itu dihitung nilai kerugian non fisik dan non fisik plus harga pasar. Sementara tim appraisal hanya menilai harga pasar, artinya hal itu tidak sesuai aturan.
Sementara itu, Perwakilan dari Tim Appraisal Muhammad Latif mengatakan menetapkan harga Rp 29 ribu permeter persegi, sudah berdasarkan data pasar di lapangan, yakni dari informasi masyarakat dan aparat desa, harga jual tanah di kawasan ini berkisar Rp 15-20 ribu permeter persegi.
“Munculnya angka Rp 29 ribu permeter persegi adalah nilai fisik dan non fisik. Nilai yang kita berikan itu sudah di atas pasaran. Yang merupakan nilai pergantian wajar, berdasarkan data-data yang diperoleh untuk lingkungan di daerah kita,”ujarnya.
Latif menyatakan, warga tidak bisa membandingkan harga tanah dengan di tempat lain. Tetapi harus dinilai dengan lahan yang sebanding sebab merupakan lahan gambut.
“Apabila warga mempunyai perhitungan dan memiliki data bahwa data yang diberikan appraisal tidak sesuai, hendaknya bisa memberikan data sesuai tuntunan harga yang diminta. Mereka menyatakan seratus ribu. Tapi datanya darimana, kita harus lihat datanya. Karena kita sebagai penilai juga harus berpegang terhadap data. Kita melakukan penilaian di situ karena mempunyai data,” tegasnya.
Kepala Dinas PU-PR Salahuddin menyampaikan, apabila nantinya setelah dilakukan penilaian ulang oleh tim appraisal, ternyata harganya tidak berubah, Shalahuddin meminta agar warga dapat menerima hasil itu dan tidak ngotot tetap menuntut Rp 100 ribu permeter persegi.
“Masyarakat harus ada alasan kuat yang menuntut agar tanah mereka yang terkena proyek pembangunan jembatan pile slab diganti Rp 100 ribu permeter persegi. Tetapi kenapa tidak semua warga menolak hanya beberapa orang saja,”ujarnya.
Tercatat sebanyak 116 warga pemilik tanah dan lima unit rumah yang akan dibebaskan karena Pembayaran ganti rugi akan dilakukan pada April 2020 mendatang, dengan alokasi dari APBD Kalimantan Tengah.
(nt/matakalteng.com)
Discussion about this post