SAMPIT – Beragam kasus hukum terhadap Front Pembela Islam (FPI) akhirnya berujung pada pembubaran organisasi tersebut pada Rabu 30 Desember 2020. Pembubaran FPI diputuskan lewat surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani enam pejabat menteri dan kepala lembaga negara.
Mereka yang menandatangani SKB adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BNPT Boy Rafli Amar dan Kapolri Jenderal Idham Azis.
Untuk itu salah seorang Akademisi di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Resky Gustiandi mengatakan, terkait pelarangan kegiatan dan pembubaran FPI sebagai organisasi masyarakat (Ormas) tentu dirinya harus menyampaikan apresiasi setingginya atas langkah tegas Pemerintah dalam penegakan Hukum dan HAM di Indonesia.
“Kemudian kita sebagai masyarakat juga perlu paham, sebagaimana SKB yang dibacakan Pemerintah kemarin adalah bentuk penegasan pemerintah secara De Jure karena FPI tidak terdaftar sebagai ormas,” ungkap Resky, Sabtu 2 Januari 2021.
Lanjut Resky, dari informasi yang dirinya ketahui. Pada 2019 lalu pemerintah tidak menyetujui perpanjangan izin organisasi FPI tersebut.
“Secara komprehensif, hal lain yang perlu kita pahami yakni pembubaran FPI jangan sampai dipahami bahwa pemerintah anti terhadap kebebasan berserikat/berkumpul,” tegasnya.
Justru lanjutnya, jika ingin berserikat sebagai suatu organisasi harus mampu memberikan evaluasi dan kolaborasi yang bijaksana dan baik kepada pemerintah.
“Mengingat dimasa ini, selain membantu evaluasi pemerintah, kita bersama pemerintah juga perlu saling mendukung dan sinergi untuk berhasil melewati Pandemi Covid-19 ini bersama-sama,” ujarnya.
Bahkan dirinya juga mencontobkan sebagaimana organisasi besar lain yang bisa di contoh seperti Muhammadiyah dan NU yang terus berkontribusi dalam banyak aktifitas, sebagai upaya membangun negeri dan membantu melewati Pandemi ini.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post