SAMPIT – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya merencanakan uji emisi kendaraan menjadi syarat perpanjangan STNK dan perlakuan denda. Namun itu dinilai oleh Pakar Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono (BHS) mengkambing hitamkan emisi gas buang kendaraan masyarakat seluruh Indonesia menjadi penyebab polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
“Sejauh ini berdasarkan data BMKG, jumlah titik hotspot kebakaran sudah mencapai diatas 5.000 titik api sampai dengan hari ini. Dan titik kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera terparah lah yang membawa asap kebakaran hutan tersebut ke pesisir pulau Jawa termasuk Jabodetabek akibat angin berhembus dari barat ke timur agak ke selatan sesuai dengan informasi BMKG,” kata BHS melalui rilisnya, Sabtu 2 September di Sampit.
Sehingga anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini menilai, Menteri LHK lempar batu sembunyi tangan dan sangat memprihatinkan karena mengkambing hitamkan emisi gas buang kendaraan masyarakat seluruh Indonesia menjadi penyebab polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
Menurut BHS, seharusnya, Menteri LHK bertanggung jawab penuh atas pencemaran udara di wilayah Jabodetabek karena terbakarnya hutan di Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Barat, Selatan, Jawa Barat, Tengah, Timur dan beberapa daerah seluruh Indonesia termasuk Papua yang tidak tertangani dan terawat dengan baik sehingga terjadi polusi yang mencapai wilayah Jabodetabek.
“Menteri Kehutanan yang merangkap Lingkungan Hidup dan susah menjabat hampir 10 tahun ini, harusnya sudah sangat paham siklus asap tahunan karena sudah berkali-kali terjadi kebakaran hutan di tahun-tahun sebelumnya selalu membawa dampak polusi udara diatas ambang batas di Jabodetabek yang jadi heboh tiap bulan Juli-Agustus. Jika masih tidak paham, sungguh keterlaluan,” protes BHS.
Lanjutnya, sebagaimana pada tahun 2015, 2017 dan 2019 hutan selalu terbakar saat di bulan Juli-Agustus akibat kemarau yang dimulai bulan Mei-Juni dan yang selalu mengakibatkan pencemaran udara di Jabodetabek, Semarang dan Surabaya. “Ini bukannya ditangani, melainkan selalu menyalahkan dan menyudutkan masyarakat mulai dari emisi gas buang, asap industri yang berlebihan dan lain lain.” imbuhnya.
Lebih konyol lagi, sambung BHS, muncul wacana kendaraan listrik untuk digencarkan kepada masyarakat. Harusnya, kata alumnus ITS Surabaya ini, semua pemegang kebijakan paham, setiap adanya musim hujan setelah musim kemarau panjang tidak akan ada masalah lagi pencemaran udara karena hutan-hutan yang terbakar mulai padam akibat guyuran hujan dan ini pasti selalu diakhiri asap tersebut di akhir bulan September sehingga problem asap sudah hilang kembali.
“Sepertinya Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup tidak paham kesalahan dirinya sendiri, dan apakah pantas Kementerian Kehutanan yang sudah dilengkapi infrastruktur perawatan berupa pesawat dan helikopter untuk penanganan pengatasan pemadaman kebakaran hutan dan perawatannya. Juga termasuk anggaran yang sedemikian besar sejumlah 7,57 Triliun tetapi tidak terlihat bergerak melakukan penanganan sesuai dengan tupoksinya,” paparnya.
Pakar Kebijakan Publik ini pun meminta stop menyalahkan dan membebani masyarakat dengan kebijakan, dan Menteri LHK harus bertanggung jawab pada kondisi polusi udara tersebut. “Sebaiknya WALHI dan masyarakat segera meng-audit kelalaian kinerja dari Kementerian Kehutanan & Lingkungan Hidup tersebut yang sangat amburadul ini sehingga mengancam kesehatan dan keselamatan dari masyarakat seluruh Indonesia,” tutup BHS.
(dev/matakalteng.com)
Discussion about this post