SAMOIT – Kematian bocah berusia sekitar enam tahun akibat sengatan listrik saat berlibur tahun baru di wahana pemandian air di Kota Sampit kini menjadi sorotan, bahkan disinyalir pengelola wahana bisa dipidana karena hal ini.
Menurut Nurahman Ramadani salah seorang Advokat sekaligus Dosen Hukum Pidana STIH Habaring Hurung Sampit, kasus ini harus ditindaklanjuti secara serius dan menerapkan pertanggungjawaban baik administrasi maupun pidana.
“Secara administratif landasan yuridis bisa ditemukan pada Pasal 63 UU 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menjelaskan bahwa :
Ayat (1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif,” kata Dani, Senin 3 Januari 2022.
Sementara dalam Ayat (2) lanjutnya, Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha dan pembekuan sementara kegiatan usaha.
Di mana pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengatur kewajiban pengusaha pariwisata untuk memberikan keselamatan wisatawan yaitu : Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban “memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungankeamanan, dan keselamatan wisatawan”.
“Dalam hal ini pengusaha/pengelola pariwisata berkewajiban untuk memenuhi semua yang diatur dalam Pasal 26 terutama keselamatan wisatawan yg merupakan prioritas utama bagi pengusaha/pengelola dalam pengelolaan objek wisata tersebut,” tegasnya.
Tambah Dani, penerapan sanksi administratif yang paling relevan dalam kasus ini menurutnya adalah pembekuan sementara kegiatan usaha saat penyelidikan dan penyidikan, termasuk evaluasi yang harus dilakukan Dinas Pariwisata Kotim terhadap perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan untuk memberikan efek jera sekaligus menghindari terulangnya kejadian serupa.
Sedangkan untuk sanksi pidananya bisa diterapkan pasal kelalaian/kealpaan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Kelalaian biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan ini terdapat dalam, Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Penerapan KUHP ini karena sanksi pidana dalam pasal 64 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hanya mengatur tentang sanksi pidana terhadap merusak fisik daya tarik wisata atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Penerapan KUHP dimungkinkan mengingat kelalaian ini berakibat pada kematian wisatawan. Sementara kriteria Kelalaian (Culpa) Dalam Hukum Pidanasebagaimana disebutkan dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, second edition, disebutkan bahwa Negligence atau culpa (kelalaian) sebagai ‘carelessness, failure to take proper care of precautions’ (tidak hati-hati, gagal untuk berhati-hati atau upaya pencegahan) yang sejalan dengan pendapat Van Hamel.
Yaitu mengatakan bahwa kealpaan/kelalaian itu mengandung dua syarat yakni tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
“Selain merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan KUHP terdapat juga hak anak yg diatur dalam pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Jo UU No. 35 Tahun 2014Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan tentang hak anak untuk berekreasi,” ungkapnya.
Dalam Pasal 11 disebutkan setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasisesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Hak berekreasi yang merupakan hak anak tentunya menjadi kewajiban pihak pengusaha/pengelola dalam menjamin keselamatan wisatawan anak-anak yang menjadi pengunjung objek wisatanya sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 26 huruf di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
“Hukum merupakan bagian dari peradaban manusia yang mengatur tatanan kehidupan sosial yang bertujuan kepastian, kemanfaatan dan keadilan,” tegasnya.
Sehingga peradaban hukum menjadi suatu kesatuan dalam sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat dengan sarana hukum yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat di segala bidang untuk menegakkan perlindungan hukum bagi masyarakat yang merupakan tugas pokok dari Negara Indonesia sebagai negara hukum.
“Bahkan hal itu secara tegas termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena itulah saya yakin dalam kasus ini aparatur penegakan hukum khususnya Jajaran Polres Kotim akan mengedepankan tiga tujuan hukum yang menjadi landasan fundamental bagi aparat penegak hukum dalam setiap tindakannya yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum guna memberikan efek jera dan menghindari terulangnya kasus seperti ini,” tandasnya.
(dia/matakalteng.com)
Reproduction and distribution of https://www.matakalteng.com/?p=66184 content to other sites is prohibited without permission.
More information, please contact us.
Discussion about this post