SAMPIT – Pengamat sosial dan kebijakan publik di Kotawaringin Timur (Kotim) yakni M Gumarang menilai, perkebunan kelapa sawit merupakan penopang ekonomi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan menjadi aset daerah yang strategis.
Disebutkannya, usaha di sektor perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalteng dimulai sekitar tahun 1994 di Kabupaten Kotawaringin Barat oleh PT.Indo Turba. Kemudian setelah itu mulai bermunculan berbagai perusahaan besar swasta (PBS) Perkebunan Sawit merambah ke Kotim kemudian ke kabupaten lainnya di Kalteng, didorong lagi pada masa reformasi 1998.
“Dengan semangat reformasi tersebut melahirkan otonomi daerah pada tahun 2004, sehingga pemerintahan yg kental dengan sentralistik menjadi desentralistik, termasuk urusan usaha di sektor perkebunan kelapa sawit lebih mudah,” kata Gumarang, Sabtu 9 Oktober 2021.
Pada saat itu ujarnya, izin usaha perkebunan untuk bisa melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit cukup dengan memiliki izin lokasi dari Bupati atau Walikota tanpa harus pelepasan kawasan hutan, sedangkan dasar pemberian izin lokasi kepada perusahaan Perkebunanan Sawit tentang lokasinya berdasarkan Perda No.5 tahun 1993 tentang RTRWP Kalteng.
Kemudian terbit Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah tahun 1999 tentang Peta Paduserasi dan kemudian dikuatkan dengan PERDA No.5 tahun 1999 tentang RTRWP Kalimantan tengah, kemudian Surat kementerian kehutanan tahun 2000 terhadap kawasan eks Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang tidak produktif lagi atau tidak aktif dan/atau lahan tidak memiliki tegakan kayu bernilai ekonomis lagi.
Bahkan ada yang hanya semak belukar saja kondisinya di lapangan, sehingga dasar itulah bisa diperuntukan untuk keperluan lokasi perkebunan kelapa sawit dan tidak memerlukan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan, kemudian dikuatkan dengan PERDA No.8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng sehingga lahan eks HPH yang tidak produktif atau tidak aktif dalam peta RTRWP Kalimantan tengah menjadi status lahan Areal Penggunaan lain (APL).
“Mengacu pada surat kementerian kehutanan tahun 2000 dan Perda nomor 8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng PBS perkebunan kelapa sawit berkembang maupun perkebunan kelapa sawit petani di Kalteng sampai sekarang, berkembang pesat PBS hingga tahun 2021 dengan luas sekitar 2.049.790 ha termasuk Plasma dan perkebunan sawit milik petani dan dengan tingkat pertumbuhan (growht) sawit terbesar di Indonesia 17,14%,” ungkap Gumarang.
Tidak bisa dipungkiri lanjutnya, sektor investasi perkebunan kelapa sawit di kalimantan tengah penyokong terbesar pertumbuhan ekonomi. Produk Domistik Bruto (PDB), penyumbang Pajak terbesar dan lainnya , sehingga memperbesar perolehan Dana Bagi Hasil (DBH) setiap tahun anggaran atau APBD Kalimantan tengah sekalipun kondisi krisis ekonomi akibat wabah Covid-19 sektor perkebunan sawit mampu membantu perekonomian Kalteng di tengah krisis ekonomi dan kesehatan secara signifikan akibat pandemi Covid-19.
Begitu pula dalam hal penyerapan tenaga kerja sektor perkebunan kelapa sawit sangat berperan karena menyerap tenaga kerja tersebar dari sektor lain di Kalteng dengan jumlah ratusan ribu tenaga kerja. “Selain itu dengan adanya investasi Perkebunan Sawit di Kalteng membuka peluang usaha bagi pengusaha maupun pedagang lokal akibat multiplayer efek yang ditimbulkan adanya investasi perkebunan kelapa sawit tersebut,”tegasnya.
Menurutnya, begitu peduli dan empati sosial keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng setiap PBS dengan menyisihkan dananya berupa Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membantu masyarakat di sekitar kebun di bidang pendidikan, adat budaya, kesehatan, usaha pertanian masyarakat dan sebagainya, bahkan termasuk membantu masyarakat yg terkena dampak bencana alam seperti banjir, bahkan di luar dana CSR yang mereka gunakan.
Dimana Kalteng dalam kondisi sekarang dan kedepan memiliki nilai significant terhadap kemajuan atau pertumbuhan ekonomi Kalteng, apa lagi perkebunan kelapandaeit kalimantan tengah nantinya didukung dengan kebijakan pemerintah dijadikan berbasis Industri Hilir dengan ditopang sektor lainnya seperti pertanian dan perdagangan. Perkebunan sudah merupakan aset daerah yg strategis dalam mengelola kemajuan ekonomi dan pembangunan Kalteng.
Namun pada tahun 2006 terjadi konflik antara Pemerintah Daerah Kalteng Gubenur Agustin Teras Narang dengan Kementerian Kehutanan jaman MS Kaban, Menteri Kehutanan menyatakan suratnya mereka tahun 2000 tidak berlaku dan/atau tidak sah, kemudian juga Perda nomor 8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalimantan tengah tidak bisa menjadi dasar untuk menerbitkan ijin lokasi dan kegiatan operasional perkebunan kelapa sawit, dan harus kembali mengacu kepada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang arti juga harus mendapat pelepasan dari Meteri Kehutanan.
“Akibat perubahan sepihak oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan tersebut Daerah dan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit dirugikan, karena banyak lokasi perkebunan sawit menjadi kawasan hutan (HP) bila berdasarkan TGHK tersebut, dan diminta untuk mengurus pelepasan kawasan hutan, padahal asal nya tidak memerlukan pelepasan kawasan. Akibatnya menurut pendapat saya dalam hukum menimbulkan konflik norma antara daerah dan pusat,” ujarnya.
Namun ujar Gumarang, pemerintah daerah bagaimanapun harus taat mengikuti sikap pusat tersebut, sehingga untuk menyesuaikan RTRWP kalimantan tengah dengan kemauan pusat atau mengacu pada TGHK maka lahirlah PERDA No. 5 tahun 2015 tentang RTRWP Kalteng. Kondisi ini terjadi karena otonomi daerah masih belum sepenuhnya atau dikenal dengan istilah otonomi setengah hati.
Konflik norma tersebut juga menimbulkan masalah bagi Perkebunan Kelapa Sawit dilapangan yang sudah terlanjur beroperasi karena menggunakan kebijakan atau ketentuan lama, kemudian lokasi yg mereka garap berubah statusnya menjadi HP, HPK yg sebelumnya tidak bermasalah dan/atau status APL menurut Perda No.8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalimantan tengah, dan juga mengacu pada surat Kementerian kehutanan tahun 2000.
Hal tersebut menimbulkan polemik sulit pihak PBS untuk mengurus pelepasan kawasan khususnya kawasan HP sulit dipenuhi karena harus melakukan tukar guling dan/atau lahan pengganti dengan lahan APL atau HPK dengan luas yang sama untuk nantinya lahan pengganti tersebut dilakukan reboisasi atau menghutankan kembali kawasan pengganti tersebut, ibaratnya seperti jeruk minum jeruk.
“Rumitnya permasalahan tersebut akhirnya PBS dituding menggarap lahan HP oleh pihak LSM atau lainnya padahal hal tersebut disebabkan oleh konflik norma antara pusat dan daerah sehingga seakan perkebunan sawit di beri stigma perusak atau penggundul hutan, padahal sebelum kehadiran investasi perkebunan sawit sudah ada sektor lain yg melakukan kegiatan eksploitasi hutan baik legal (resmi) maupun ilegal logging (penebang liar),” jelasnya.
Mencari jalan kebuntuan tersebut agar konflik norma pusat daerah dan pihak PBS bisa merasa investasi terayomi pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintan No. 60 tahun 2012 perubahan atas PP No 10 tahun 2010 tentang Tata cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan atau dikenal dengan sebutan keterlanjuran.
“Namun solusi ini masih belum bisa menyelesaian sepenuhnya, namun paling tidak menepis anggapan atau tudingan terhadap investasi perkebunan sawit bukan membabi buta tapi berdasarkan aturan, walau ada juga perusahaan perkebunaan kelapa sawit yang nakal,” tegas Gumarang.
Perkebunan kelapa sawit dalam hal ini dalam posisi yang tidak mengenakan padahal jelas ada pihak lain sebelum keberadaan perkebunan kelapa sawit yg tak lepas dari pihak yang mulai sejak sekitar tahun 1970 sudah melakukan eksploitasi hutan baik yang legal maupun ilegal yaitu sektor usaha perkayuan yang sekarang sejarah mereka hampir terlupakan dan sekarang sekitar 50 tahun sudah usianya beraktivitas.
Dan tidak dipungkiri juga kontribusinya kepada negara khususnya perusahaan HPH, IPK dan usaha sejenisnya di bidang eksploitasi hutan/kayu, pabrik kertas dan bermacam macam Industri kayu lainnya sangat besar kontribusi baik berupa dana reboisasi (DR) dan iuran hasil hutan (IHH), pajak penghasilan (PPH) dan lainnya.
Namun investasi perkebunan sawit sebagai pendatang baru berinvestasi di lokasi bekas garapan atau eksploitasi kayu yang dilakukan oleh saudara tua yaitu sektor perkayuan yang hampir terlupakan karena kehadiran sektor perkebunan kelapa sawit yang saat ini perkembangannya sangat berperan dalam perekonomian Kalimantan tengah khususnya, sehingga menjadi perhatian publik.
“Mungkin seperti gayung bersambut begitu eksploitasi hutan/kayu selesai dilakukan oleh usaha perkayuaan dan lahan tersebut tidak ekonomis lagi bahkan ada yang hanya semak belukar saja sektor perkebunan kelapa sawit mengambil peran untuk melakukan investasi sesuai perizinan yang berlaku agar lahan tersebut bernilai ekonomis kembali dan hijau kembali walau sifatnya tanaman homogen,” tandasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post