SAMPIT – Sekarang ini wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng) mulai memasuki musim hujan dengan intensitas tinggi, sehingga debit air meningkat disetiap sungai-sungai yang mengakibatkan banjir dibeberapa daerah. Ditambah dengan turunnya air dari hulu sungai membuat sungai tak mampu menampung dan terjadi luapan yang menggenangi daerah dataran rendah, belum lagi ditambah air pasang.
“Sifat air itu, terutama akibat hujan diantaranya ada tiga hal. Pertama, kemampuan resapan air kedalam tanah. Kedua, kemampuan penguapan air ke atas. Ketiga, kemampuan mengalir ke hilir menuju laut melalui sungai. Yang paling besar persentase volumenya adalah yang ketiga,” kata pengamat kebijakan publik, M Gumarang, Jumat 10 September 2021.
Banjir di Kalteng merupakan hal yg sudah biasa karena sifat iklim atau cuaca, sejak jaman dulu sudah banjir, yang membedakan hanya skala besar kecilnya sesuai keadaan alam atau cuaca, dan tahun ini merupakan banjir terbesar dibandingkan tahun lalu, terutama didaerah hulu yang terparah sampai mencapai ketinggian banjir 2 meter lebih yang mampu menenggelamkan rumah penduduk.
Banjir adalah musibah alam yang tak mungkin bisa dihindari atau dicegah, kecuali yg paling tepat adalah bagaimana mengelola banjir yang menjadi bagian dari manajemen pemerintahan dan program pembangunan daerah yang bersifat terencana untuk memperkecil resiko dampak banjir serta memudahkan penanganan. Adapun caranya yakni melakukan pemetaan, membuat, menentukan, menetapkan tata ruang melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang pembangunan penataan kawasan banjir melalui fungsi Dinas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan sinergitas atau bekerja sama dan dengan melakukan penguatan (Revitalisasi) terhadap peran dan fungsi Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dengan tetap memperhatikan terhadap prinsip ekologi terhadap penataan kawasan banjir. Serta meningkatkan kerjasama dengan Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG)
“Ketiga membuat hasil kajian atau studi terhadap rencana pembangunan penataan kawasan banjir dan/atau kawasan masyarakat yang terkena banjir,” sebut Gumarang.
Keempat melakukan kajian daerah hulu menjadikan air sebagai energi listrik alternatif dan irigasi pertanian bila memungkinkan terutama dari energi tenaga air yg cukup berpotensi untuk menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena banjir tidak bisa lagi dikategorikan sebagai kejadian situasional karena keadaan iklim yang berdampak buruk terhadap sosial ekonomi secara masif dengan kelangsungan kejadian secara terus menerus dalam setiap tahun, untuk itu perlu pembangunan penataan kawasan banjir.
Misalnya rumah di bantaran sungai yg termasuk dalam peta kawasan banjir dengan konstruksi yang bisa menyesuaikan keadaan alam atau keadaan debit air atau ketinggian air sehingga rumah itu bisa terapung, hal ini membutuhkan kajian dan para ahli kontruksi atau rancang bangun. “Karena masyarakat Kalteng khususnya masyarakat pedalaman dan pesisir kehidupannya sangat tergantung dengan sungai, karena selain sungai sebagai sarana transportasi, sungai juga merupakan salah satu sumber ekonomi, juga untuk keperluan air untuk mandi, mencuci dan lainnya,” tegasnya.
Maka untuk mendukung rencana semua itu perlu dibuat Peraturan Daerah (PERDA) dengan melibatkan masyarakat dan semua pemangku kepentingan (Stakeholder) yang menyangkut penanganan pengelolaan banjir yang bersifat berkelanjutan (Sustainable). “Sehingga penangan banjir adalah bagian dari Renstra, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Panjang Nasional (RPJMPN),” pungkasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post