NANGA BULIK – Konflik lahan yang terjadi antara Organisasi Masyarakat (Ormas) yang mengatasnamakan Borneo Sarang Paruya (BSP) dengan PT Gemareksa Mekarsari belum menemukan titik temu. Diketahui, Kamis 3 November 2022 lalu, sejumlah warga atas nama BSP melakukan aksi penutupan akses kegiatan di perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit tersebut.
Aksi penutupan itu dilakukan dengan cara mendirikan tenda dan melarang aktivitas perusahaan. Meski sempat bertahan beberapa hari, akhirnya aksi tersebut dibubarkan pihak kepolisian setempat. Chief Operating Officer (COO) PT Gemareksa Mekarsari, Helmud Dehen Mambat saat dikonfirmasi mengatakan bahwa dalam menjalankan operasionalnya, pihak perusahaan sudah sesuai dengan legalitas dan atas hukum yang sah.
Pun demikian terkait prosedur yang berlaku. “Kami sudah sangat berhati-hati memahami tentang legalitas dan perizinan perusahan,” ujar Helmud, Minggu 6 November 2022. Pihaknya memahami ada perbedaan pendapat antara warga dan perusahaan terkait penafsiran putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2397 K/Pdt/2016.
Gugatan tersebut dilayangkan Rohansyah, atas perkara perbuatan melawan hukum. “Dalam amar putusan sudah sangat jelas jika Majelis Hakim Mahkamah Agung RI menolak kasasi yang diajukan,” sebutnya. Dengan demikian, lanjut dia, apa yang selama ini diklaim kelompok warga tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Namun, pihaknya mengaku telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait agar dalam menyelesaikan persoalan itu tidak menimbulkan konflik baru. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang terjadi, Helmud mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamandau dan pihak terkait yang telah mengambil langkah konkrit untuk segera menyelesaikan persoalan yang terjadi.
“Apa yang dilakukan Pemkab Lamandau bersama pihak terkait, saya yakin akan tetap menciptakan iklim investasi yang baik,” ujarnya. Menurutnya, jika konflik mendapatkan penanganan yang cepat serta tepat dari pemerintah dan pihak-pihak terkait, maka konflik tersebut akan dapat menemukan ide baru, perubahan maupun suasana kerja yang lebih baik.
“Tentunya kami selalu membuka ruang bagi siapapun untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara bermusyawarah dan bermufakat. Sehingga tidak muncul konflik baru di tengah masyarakat,” ujarnya. Terpisah, salah satu peserta aksi blokade, Wendy mengatakan, awalnya masyarakat melakukan aktivitas yang dirasa berada di luar HGU dari PT Gemareksa berdasarkan data pengecekan HGU yang dilakukan pihaknya. Namun, dihentikan pihak perusahaan.
Terkait permasalahan ini, Wendy berharap pihak perusahaan untuk dapat menunjukan posisi HGU apabila areal lahan tersebut sesuai SK HGU yang dimiliki perusahaan. “Kami berharap pihak perusahaan dapat duduk bersama untuk bermusyawarah sehingga diperoleh solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak,” ujarnya.
Terpisah, Bupati Lamandau, Hendra Lesmana yang juga Ketua DAD Lamandau dalam suatu kesempatan menyampaikan bahwa lembaga adat yang ada di Lamandau harus memiliki pandangan yang sama dalam upaya mewujudkan pembangunan di daerah.
“Apabila dalam perjalanannya ada pasang surut atau permasalahan di lapangan, ya harus kita diskusikan bersama agar tidak menimbulkan masalah yang lebih komplek sehingga menghambat pembangunan,” tegasnya. Hendra Lesmana berharap sinergitas antara DAD dan ormas-ormas yang ada tetap terjalin dengan baik sehingga kondusifitas keamanan dan ketertiban di Kabupaten Lamandau tetap terjaga.
(bttg/matakalteng.com)
Discussion about this post