SAMPIT – Renda Ardiansyah selaku kuasa hukum Abdul Fatah (penggugat) mengatakan, saksi ahli yang dihadirkan oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya (tergugat) malah menguntungkan pihaknya karena mengaku tidak mengetahui adanya usulan lahan TORA oleh Bupati Kabupaten Seruyan.
Bahkan ujar Rendra, pihaknya bersama Pengadilan Negeri Sampit pada 28 Juni 2021 mendatang akan melakukan pemeriksaan setempat, untuk mengetahui letak lahan serta letak titik koordinat yang dinyatakan oleh Gakkum LHK sebagai kawasan hutan.
“Kami masih optimis 99 persen bahwa kami akan menang, karena dari keterangan saksi ahli tadi pun menguntungkan kami,” ujarnya usai sidang, Senin 14 Juni 2021. Bahkan saksi ahli yang hadirkan menerangkan soal objek yang kini dipermasalahkan berbeda-beda. Itu terungkap dalam sidang.
Ahli yang kini dihadirkan tergugat yakni Dadang, ahli bidang pemetaan, menyebutkan kalau dirinya yang mengambil titik koordinat di objek sengketa, ada 6 titik koordinat yang diambilnya di objek yang diatasnya itu ada kebun sawit, kandang ayam dan ada juga belukar.
“Kalau secara landscape, itu perkebunan sawit namun ada juga belukarnya. Namun untuk luasannya saya tidak tahu, titik itu kami ambil dengan GPS, hasilnya kita cocokkan, overlay, melalui peta kawasan SK 529 tahun 2012,” sebutnya.
Dari pencocokan itu kata ahli di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Sampit yang diketuai oleh Darminto Hutasoit, diakui kawasan itu masuk dalam kawasan hutan produksi tetap.
Berbeda dari keterangan Oktavianus Kurniawan ahli perdata dan agraria yang dihadirkan oleh pihak tergugat sidang lalu, yang mana menyebutkan kawasan hutan yang kini tengah dipermasalahkan di objek Desa Ayawan, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan itu disebutkan masuk dalam kawasan hutan nasional.
Sementara ahli lainnya yang juga dihadirkan yakni Muldoyanto merupakan ahli terkait penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, sidang lalu menyebutkan penetapan kawasan hutan sendiri sebagaimana SK Nomor 8108 tahun 2018 tentang Kawasan Hutan Kalimantan Tengah yang ditentukan oleh menteri.
Instansi lain jika ingin mengetahui apakah areal itu kawasan hutan atau tidak bisa menggunakan SK itu. Begitu juga dalam hal pengambilan titik koordinat harus dilakukan mereka yang ahli atau punya pengetahuan di bidang itu.
Ahli juga menyebutkan berdasarkan SK 529 areal yang kini tengah dipermasalahkan penggugat dan tergugat masuk kawasan hutan, itu diakuinya berdasarkan titik koordinat yang diambil oleh tergugat, namun dirinya menyebutkan belum tahu apakah areal itu sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan atau belum, termasuk soal lokasi di lapangan terkini ahli tidak mengetahui.
Dalam gugatan penggugat sebelumnya disebutkan kalau tergugat dianggap melawan hukum, apabila diperhitungkan dalam isi gugatan itu maka penggugat mengalami kerugian yakni membeli tanah tersebut sebesar Rp87.650.000, biaya pengelolaan lahan dan biaya penanaman kelapa sawit yaitu sebesar Rp100.000.000, sehingga kerugian Materil yang timbul akibat perbuatan Tergugat adalah sebesar: Rp187.650.000
Bahwa kerugian Inmateril yang timbul akibat Perbuatan Tergugat yang melawan hukum sebagaimana Pasal 30 Huruf (b), Peraturan Presiden Nomor: 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan; yang melakukan penangkapan, hingga penahanan serta penetapan penggugat sebagai tersangka adalah kerugian moril, dan penderitaan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, bahwa apabila di nominalkan sebesar Rp1.500.000.000.
Mereka juga dalam gugatan perdata itu jika terus berlanjut memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Sampit atau Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini untuk kira juga menetapkan uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp5.000.000 Perhari yang harus dibayarkan oleh tergugat.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post