PANGKALAN BUN – Pasca beredarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, terkait pencabutan konsesi pemanfaatan kawasan hutan membuat sejumlah investor resah.
Hal itu karena terbitnya SK KLHK tersebut diduga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk melakukan aksi diluar ketentuan hukum yang berlaku, seperti penjarahan, klaim lahan dan lain sebagainya.
Menyikapi hal ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Komisariat Kabupaten Kotawaringin Barat berharap pemerintah daerah melakukan langkah-langkah dan sosialisasi bahwa SK, KLHK tersebut belum sah dan belum bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya sesuai norma yang berlaku.
Seperti di Kabupaten Kotawaringin Timur, misalnya, Pemkab nya telah mengeluarkan surat berkaitan dengan SK, yang dikeluarkan KLHK tersebut. Sehingga pihaknya masih menunggu keputusan yang sesuai dengan tata naskah dinas sesuai ketentuan yang ada.
“Kita sudah melakukan koordinasi agar pemkab Kobar juga melakukan hal yang sama seperti di Kotim, hal itu juga sudah mendapat respon dan harapan kami bisa terealisasi,” ungkap Pengurus Gapki Komisariat Kobar, Kusartono.
Ia menjelaskan, seperti yang tertuang dalam surat Bupati Kotim, bahwa SK yang beredar tersebut bukan mencabut izin lokasi, HGU atau IUP yang sudah dimiliki pihak investor. Namun yang dicabut adalah pemanfaatan kawasan hutannya atau pelepasan, pinjam pakai, tukar menukar kawasan hutan.
Adanya peran pemerintah dari tingkat Desa hingga kecamatan dalam melakukan sosialisasi harapannya bisa meredam dan tidak ada aksi-aksi yang dilakukan diluar koridor hukum yang ada. Diakui Kusartono disejumlah perkebunan kelapa sawit pasca beredarnya SK tersebut banyak oknum masyarakat melakukan penjarahan bahkan klaim kepemilikan lahan di kawasan perkebunan yang nota bene juga memiliki izin-izin serta telah mengikuti aturan pemerintah.
Jika hal ini tidak segera disikapi maka ia khawatir akan menimbulkan konflik lebih luas. Tidak hanya konflik antar perusahaan dengan masyarakat tapi juga berpotensi konflik masyarakat antar masyarakat.
“Semoga pemkab Kobar segera merespon seperti halnya yang dilakukan oleh pemkab Kotim, supaya potensi konflik tersebut bisa dihindari,” harapnya.
Hal Senada juga diungkapkan pengurus GAPKI Lainnya, Dinas, menurutnya SK menteri itu memang belum ada, banyak sekali kesimpangsiuran akibat SK tersebut dan akan dapat berakibat negatif terhadap investasi,
Sehingga pemerintah daerah harus tegas menyikapinya termasuk melakukan sosialisasi kepada stakeholdernya dan menertibkan ormas ormas karena oknum masyarakat selalu menggunakan ormas sebagai perahu untuk memuluskan rencana rencana yang dapat menimbulkan potensi konflik.
Penegasan serupa juga disampaikan oleh pengurus GAPKI Ramli, munculnya SK tersebut tidak serta menghentikan operasi perusahaan, maka diperlukan sosialisasi pemahaman sehingga tidak disalahartikan oleh oknum masyarakat.
“Pemerintah harus turut memberikan pemahaman sehingga semua tetap bisa berjalan sesuai koridor yang ada,” pungkasnya.
(ga/matakalteng.com)
Discussion about this post