SAMPIT – Lima orang mahasiswa di STKIP Muhammadiyah Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) beserta satu dosen pembimbing tengah berupaya mengentaskan buta aksara khususnya di Kecamatan Baamang. Hal itu melalui kegiatan pendidikan keaksaraan.
Dosen pembimbing ke lima mahasiswa tersebut yakni Gita Anggraini mengatakan, kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian mahasiswa terhadap permasalahan literasi di daerah. Dimana masih banyak masyarakat yang belum bisa membaca.
“Kegiatan ini merupakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Pengabdian Masyarakat. Program ini berawal dari kegiatan pelestarian bahasa Sampit beberapa tahun lalu,” ujar Gita, Sabtu 3 Juli 2021.
Lanjutnya, dengan seringnya interaksi mahasiswa dan pembimbing dengan penutur asli bahasa Sampit yang berada di daerah Baamang menemukan fakta baru, bahwa masih banyak warga Baamang yang buta aksara. Informasi lain juga didapatkan dari tokoh bahasa Sampit yang sering turun ke lapangan, yaitu ibu Rusnilawati.
“Memang, awalnya sebagian besar warga ini tidak mau mengatakan bahwa mereka buta aksara karena sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Namun, dengan pendekatan bahasa daerah dan tokoh masyarakat setempat akhirnya mereka mau dan semangat untuk belajar membaca,” jelasnya.
Menurutnya, berdasarkan penuturan para tokoh bahasa Sampit, salah satu kesulitan warga adalah saat pemilu legislatif lalu. Mereka tidak bisa memilih dengan baik, pasalnya di kartu suara menggunakan nama Pasangan Calon (Paslon).
“Masyarakat ini terpinggirkan dan harus berdamai dengan keterbatasan mereka. Padahal dari usia, mereka masih tergolong muda, ada yang 30 hingga 40 tahun,” sebut Gita.
Berdasarkan permasalahan di lapangan tersebut ujarnya, dibuatlah sebuah program Bare Ketawa, Sampai Ketawan : Pendidikan Keaksaran dengan Pemanfaatan Bahasa Daerah.
“Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Sampit. Bahasa daerah ini digunakan dalam dua hal. Pertama, sebagai alat komunikasi untuk melakukan pendekatan psikologis dengan masyarakat sasaran,” bebernya.
Sebab, dengan menggunakan bahasa yang sama dengan yang mereka gunakan dalam kegiatan sehari-harinya yakni bahasa Sampit, mereka menjadi lebih terbuka dan merasa dekat sehingga memudahkan pembelajaran.
“Kedua, bahasa Sampit digunakan sebagai media pembelajaran. Dalam pengenalan kosakata, belajar membaca digunakan bahasa Sampit. Misalnya mengenalkan huruf vokal i dan a digunakan kata DIKA yang artinya kamu,” ujar Gita yang juga penggiat Literasi di Kotim ini.
Dikatakannya, sesuai dengan rencana bahwa kegiatan di lapangan dilaksanakan selama tiga bulan ditambah dengan persiapan dan pelaporan kegiatan satu bulan sehingga menjadi empat bulan.
“Harapan saya sebagai pembimbing semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Selanjutnya ke depan pihak-pihak terkait dapat bersinergi dengan kampus untuk mengentaskan buta aksara di Kotim. Sebenarnya jika dicari lagi masih banyak masyarakat yang membutuhkan pendampingan. Memang harus melakukan pendekatan secara kultural,” tegasnya.
Sementara itu mahasiswa yang mengetuai kegiatan ini Dwi Maulina Permata Sari mengatakan, bahwa masyarakat setempat sangat antusias menyambut kegiatan ini. Bahkan ada salah seorang peserta pendidikan yang tunawicara turut berpartisipasi dalam belajar membaca.
“Sementara ini yang ikut masih ada 8 orang, namun jika kemudian hari ada lagi yang ingin belajar tentu kami menerima dengan tangan lebar,” ujar Dwi.
Disebutkannya, bahwa kegiatan ini dilakukan setiap satu minggu sekali pada hari Jum’at pukul 13.00 WIB. Dimana kegiatan ini langsung dijalankan oleh mahasiswa sendiri bersama dosen pembimbing dan didukung oleh pihak pemerintah desa, kelurahan serta kecamatan setempat.
“Kami sangat bersyukur kegiatan ini sangat didukung dan disambut hangat terutama oleh pihak Kecamatan Baamang, bahkan pada pembukaan kegiatan ini pun dihadiri dan dibuka langsung oleh perwakilan kecamatan serta dihadiri stakeholder kampus, RT dan RW setempat serta pengelola sanggar Mentaya Estetika yang tempatnya dijadikan tempat pelatihan,”ungkapnya.
Menurutnya, pihak kecamatan mendukung kegiatan ini lantaran sepakat dan sependapat dalam tujuan mengentaskan buta aksara, agar kedepannya tidak ada lagi masyarakat yang tidak bisa membaca maupun menulis.
“Bahkan pemerintah setempat berharap melalui kegiatan ini semoga bisa menjadi solusi untuk masyarakat yang masih belum bisa membaca serta menulis. Sehingga kegiatan kami pun bisa berjalan dengan lancar, yang mana saat ini masih bulan pertama kegiatan,” imbuhnya.
Sementara itu diketahui, kegiatan ini tetap menerapkan protokol kesehatan (Prokes) dengan ketat. Dimana mahasiswa tidak hanya memberikan pelatihan keaksaraan, namun juga turut mensosialisasikan penerapan prokes agar terhindar dari Covid-19 serta membantu pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebarannya.
“Alhamdulillah masyarakat serta peserta pendidikannya pun tertib menerapkan Prokes, semoga dengan ini kami juga dapat membantu upaya pemerintah agar pandemi ini cepat berakhir,” demikian Dwi.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post