SAMPIT – Kasus perceraian di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) terbilang tinggi dibandingkan daerah lain yang ada di Kalimantan Tengah (Kalteng). Itu terbukti dari jumlah putusan Pengadilan Agama Sampit terkait perkara cerai gugat dan talak yang mencapai 789 orang dinyatakan bercerai dengan status janda dan duda pada tahun 2021.
“Kotim memiliki kasus perceraian tertinggi se Kalteng, di tahun 2021 perkara yang masuk 809 untuk kasus cerai gugat dan talak,” kata Panitera Pengadilan Agama Sampit, Muhamad Ikhwan, Sabtu 1 Januari 2022. Lanjutnya, dari jumlah 809 itu, cerai gugat sebanyak 613 dan yang diputuskan oleh pihaknya sebanyak 601, sedangkan yang dicabut hanya 45 perkara. Sementara cerai talak ada 196 yang masuk, diputuskan 188 perkara dan yang dicabut hanya 15 perkara.
Perkara yang dicabut itu artinya pihak Pengadilan Agama berhasil melakukan mediasi dan pasangan kembali rujuk atau tidak jadi bercerai. Sementara yang diputuskan pasangan resmi bercerai. Sehingga jika ditotal jumlah putusan dari cerai talak dan gugat ada sebanyak 789 perkara. Artinya, jumlah pasangan yang statusnya berganti menjadi janda dan duda sepanjang tahun 2021 sebanyak 789 di Kotim.
“Setiap pasangan yang mengajukan perceraian kami lakukan mediasi dengan tujuan meminimalisir perceraian. Namun mereka banyak yang kekeh lanjut. Sehingga jumlah perkara yang dicabut itu jarang lebih sering lanjut hingga putusan, dari perkara yang masuk tadi hanya ada 60 saja yang dicabut,” terangnya.
Disebutkan, rata-rata warga yang mengajukan perceraian dengan didominasi perempuan itu berusia produktif atau sekitar 30 tahun. Untuk faktor perceraian bermacam-macam namun yang sering karena ekonomi dan perselingkuhan hingga menyebabkan pertengkaran dan ketidak cocokan. “Alasannya sering bertengkar, kalau untuk sebabnya cukup banyak salah satunya yang sering adalah perselingkuhan,” sebutnya.
Sementara alasan tingginya kasus perceraian di Kotim diduga selain jumlah penduduk Kotim terbanyak dari 13 Kabupaten/ Kota se Kalteng, juga faktor ekonomi , faktor ilmu dan ibadah, karena esensinya perkawinan itu adalah ibadah. Disamping modernitas yang bisa mempengaruhi gaya hidup seseorang.
“Dan juga Kotim ini daerah dengan perekonomian tinggi sehingga banyak pendatang dari luar daerah yang kemudian menikah dengan orang lokal. Pada saat pulang ke asalnya perempuan yang dinikahi ini ditinggal dan akhirnya mengajukan cerai. Karena meski salah satu pasangan tidak berada ditempat atau berada di daerah lain, proses perceraian dapat dilakukan. Namun sebisa mungkin kami berusaha agar pasangan tidak melakukan perceraian apalagi yang sudah punya anak, kasihan karena berdampak buruk pada anak,” tutupnya.
(dev/matakalteng.com)
Discussion about this post