PALANGKA RAYA – Sejumlah warga Bukit Rawi dan Penda Barania, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) mendesak agar pembangunan pile slab atau jembatan layang yang dilaksanakan diwilayah itu segera dihentikan. Pasalnya, sampai sekarang pemerintah belum jelas memberikan ganti-rugi terhadap lahan masyarakat yang dilalui jembatan layang tersebut.
Bahkan untuk mendesak pemerintah segera menuntaskan pembayaran ganti rugi lahan tersebut, sejumlah masyarakat yang memiliki tanah di daerah tersebut menggelar unjuk rasa dan memasang spanduk bertuliskan. “Tolong hentikan pembangunan proyek pile slab ini sebelum ada kejelasan dan kesepakatan ganti rugi hak atas tanah kami”. Hal itu dilakukan warga agar pemerintah segera melakukan ganti rugi atas lahan mereka yang saat ini telah dibangun jembatan laying tersebut.
Salah seorang warga pemilik lahan di daerah tersebut Jonedi mengatakan, pembangunan pile slab yang sudah berjalan tersebut, tidak berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dan pemerintah dalam arti pembangunan tersebut dilaksnakaan secara sepihak. Sehingga pihaknya menuntut agar proses pembangunan tersebut dihentikan untuk sementara waktu.
“Kami meminta agar proyek pile slab ini dihentikan sebelum adanya kejelasan dari pemerintah terkait ganti rugi lahan, karena kami memiliki sertifikat kepemilikan lahan yang sesuai aturan hukum dan perundang-undangan,” kata Jonedi, disela-sela memasang spanduk pada bangunan pile slab, Selasa (1/10).
Diungkapkan, sebelumnya masyarakat sudah berupaya untuk berkoodinasi dengan pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kalteng. Namun, koordinasi tersebut mencapai titik temu. Bahkan dalam mediasi yang dilaksanakan terkesan saling lempar tanggungjawab.
“Saat kita mediasi di Pemkab Pulpis, katanya kewenangan Provinsi. Saat kita bertemu Pemprov dalam hal ini diwakili PUPR menunggu koordinasi dengan kementerian. Kita sudah berupaya menunggu itikad baik pemerintah dengan menyurati gubernur dan beberapa Dinas. Bahkan kita juga sudah bertemu dengan PUPR. Tetapi tidak mendapatkan solusi karena antara PUPR Kalteng dan kementrian saling melempar tanggung jawab, padahal kami cuma mau minta kejelasan masalah ganti lahan yang memang sah milik masyarakat,” tegasnya.
Dijelaskan, saat mediasi pihak pemerintah telah menentukan harga ganti rugi lahan sebesar Rp29 ribu permeter kuadrat. Namun harga tersebut ditolak warga karena selain terlalu rendah keputusan tersebut juga dari sepihak yakni dari PUPR. Sementara mereka meminta agar lahan tersebut bisa dihargai Rp100 ribu permeter kuadratnya.
“Kalau Rp29 ribu ya terlalu kecil, harga ikan kering saja di pasar Rp50 ribu perkilonya. Dan harga tersebut ditentukan sepihak oleh pemerintah, makanya kami minta proyek siluman yang dibangun tanpa bermusyawarah dengan masyarakat ini segera dihentikan,” pungkasnya.
Aksi masyarakat ini langsung dikawal oleh Kapolres Pulpis AKBP Siswa Yuwono dan Kapolsek Kahayan Tengah Ipda Jadiman serta puluhan aparat kepolisian setempat. Dibincangi disela-sela mengawasi aksi masyarakat tersebut Siswo Yuwono mengatakan, pihaknya hanya memberikan pengamanan kepada masyarakat.
Tetapi dia juga menegaskan agar masyarakat tidak melakukan berbagai tindakan pidana seperti pengrusakan bangunan. “Kita hanya memberikan pengamanan, tapi kita juga mengingatkan agar tidak melakuan tindakan pidana,” kata Siswo.
Terpisah, Kepala Dinas PUPR Kalteng H Shalahudin saat dikonfirmas di ruang kerjanya mengungkapkan, penetapan ganti rugi lahan masyarakat untuk pembangunan pile slab sebesar Rp29 ribu permeter kuadrat berdasarkan penghitungan tim appraisal di lokasi pembangunan serta beberapa pertimbangan lainnya.
“Penetapan harga ganti rugi lahan tersebut, berdasarkan pada hasil peninjauan langsung tim dilapangan serta beberapa pertimbangan lainnya. Kemudian tim juga bercermin dari ganti rugi lahan untuk pembangunan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kalawa Atei pada tahun 2013 lalu dengan harga Rp20 ribu permeter kuadrat. Tentunya saat ini sudah 2019 sehingga jelas ada kenaikan dan kenaikan tersebut bukan 200 persen melainkan 1700 persen bila dibandingkan harga pembebasan lahan RSJ Kalawa Atei,” terangnya.
Dikatakan, untuk memenuhi permintaan masyarakat yang menuntut ganti rugi lahan sebesar Rp100 ribu permeter kuadrat, tentu tidak bisa diakomodir dengan cepat. Karena, ada prosedural yang harus dipenuhi sesuai dengan aturan hukum termasuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Bahkan saat ini pihaknya sudah menganggarkan pembayaran ganti rugi lahan tersebut pada APBD 2020 mendatang.
“Kita mengerti apabila masyarakat meminta harga Rp100 ribu permeter kuadrat, tetapi penetapan harga setinggi itu, masih belum ada payung hukumnya. Apabila ada payung hukumnya tentu akan kita penuhi permintaan masyarakat. Bahkan apabila di lahan masyarakat terdapat beberapa hal seperti kebun, kita juga akan ganti rugi karena aturan hukumnya jelas. Tetapi saat tim appraisal meninjau dilapangan, lahan tersebut masih kosong dan dianggap sebagai lahan tidur, oleh karena itu dengan harga yang sudah ditetapkan saya rasa itu sudah cukup tinggi,” pungkasnya.
(nt/matakalteng.com)
Discussion about this post