SAMPIT – Pengamat Sosial Politik di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Gumarang menilai kebijakan pemerintah pusat gagal mengembalikan minyak goreng ke harga semula. Hingga kini, minyak goreng kemasan tetap di atas Rp 23 ribu per liter.
Upaya pemerintah mengendalikan harga minyak goreng dilakukan dengan menerbitkan aturan yang mewajibkan eksportir harus memiliki bukti pelaksanaan distribusi kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dengan harga penjualan di dalam negeri (domestic price obligation/DPO) kepada produsen minyak goreng curah.
“Kebijakan di atas ternyata belum mampu mengontrol harga minyak goreng di pasaran. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan larangan ekspor CPO dan produk turunannya pada 28 April 2022. Ternyata itu tidak juga mengubah keadaan,” ujarnya, Minggu 17 Juli 2022.
Lanjutnya, yang terpukul justru para petani sawit yang menderita kerugian besar akibat anjloknya harga sawit. Petani sawit pun protes besar-besaran. Menyikapi protes tersebut, Presiden Indonesia Joko Widodo telah mencabut larangan ekspor produk minyak sawit termasuk minyak goreng dan CPO per 23 Mei 2022. Dicabutnya larangan ekspor CPO tersebut dengan alasan ketersediaan pasokan bahan baku minyak goreng sudah normal.
“Apanya yang normal? Minyak mana yang dikatakan sudah stabil? Harga minyak goreng curah subsidi dipatok pemerintah sebesar Rp14 ribu per liter, ternyata dipasaran masih Rp 16 ribu – Rp 20 ribu per liter, bahkan lebih. Begitu juga minyak goreng kemasan yang dijual masih di atas Rp 23 ribu per liter,” ujar Gumarang.
Mengatasi hal tersebut ungkapnya, pemerintah pusat kembali menerbitkan kebijakan untuk mengaudit semua perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit, terutama yang menyangkut luasan perizinan hak guna usaha (HGU) dan pengelolaan serta pelaksanaan terhadap plasma 20 persen.
Presiden Joko Widodo memerintahkan Luhut Binsar Panjaitan untuk melaksanakan kebijakan tersebut dan menerapkan audit sampai ke lapisan pemerintah daerah, termasuk Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki luasan lahan sawit 2 juta hektare.
“Kebijakan menyangkut audit PBS terhadap pelaksanaan plasma 20 persen diberlakukan agar semua PBS wajib menyerahkan kebun 20 persen dari total luasan izin yang dimiliki PBS sebagaimana mengacu pada Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Inipun dinilai akan terancam gagal, karena tidak didasari kajian dan konsep yang jelas,” tegasnya.
Di sisi lain, secara aspek hukum Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tidak bisa berlaku surut. Banyak kebun sawit yang berdiri sebelum 2007. Sebagai renungan sebenarnya sudah banyak PBS yang melaksanakan plasma 20 persen namun faktanya tak sedikit yang gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Banyak kartu plasma dijual kepada masyarakat yang status ekonomi tak layak memilikinya, bahkan lebih ironisnya lagi kartu plasma dijual dengan masyarakat di luar daerah. Belum lagi masalah lain yang menimbulkan kegagalan dalam pelaksanaan plasma sawit,” bebernya.
Seharusnya kata Gumarang, ini menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih strategis dan efektif dalam pelaksanaannya dan berdaya guna bagi masyarakat pemegang plasma, khususnya terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat.
Gumarang mengatakan suatu kebijakan tidak didasari kajian dan konsep yang jelas akan berpotensi gagal, sebagaimana fakta dialami masyarakat yang sudah dan pernah mendapatkan plasma dari PBS selama ini.
“Janganlah terburu-buru melaksanakan kebijakan yang tidak didasari oleh kajian dan konsep yang jelas dan ini dikhawatirkan memicu pihak lain menunggangi. Dikhawatirkan masyarakat yang nantinya menjadi korban karena tujuan yang mulia tidak tercapai, malah tujuan yang lain diraih,” katanya.
Seperti ujarnya, kejadian kasus pidana korupsi ekspor minyak goreng illegal, apa lagi tahun sekarang sudah mulai mendekati tahun pemilu yang rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post