SAMPIT – DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menyebutkan, kericuhan yang terjadi di perusahaan BJAP 3 Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan merupakan salah satu contoh konflik dengan perusahaan perkebunan jika pemerintah berpangku tangan membiarkan konflik antara perusahaan dan masyarakat.
“Kejadian serupa sangat besar kemungkinan terjadi di Kotim mengingat ada banyak konflik dan persoalan berkaitan dengan plasma 20 persen hingga persoalan penggarapan lahan oleh PBS belum ada penyelesaian,”kata Ketua Komisi I DPRD Kotim, Rimbun, Jumat 7 Juli 2023.
Konflik yang terjadi ini juga menurutnya, tidak luput dari sikap acuh tak acuh pemerintah daerah, pemerintah provinsi serta DPRD Provinsi untuk memperjuangkan dan menegakan aturan itu sendiri.
“Saya bisa katakan di Kotim hanya menunggu waktunya saja. Saya sampaikan ini karena mata kepala saya menyaksikan bagaimana kondisi di tengah masyarakat kita saat ini. Masyarakat terdesak dengan keberadaan perusahaan perkebunan sembari mereka menuntut hak plasma 20 persen itu belum ada kejelasan,”ujarnya.
Rimbun menjelaskan plasma 20 persen saat ini merupakan isu utama yang tengah dibahas di kalangan masyarakat arus bawah. Seharusnya persoalan ini cepat diredam dengan kesigapan pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi dengan menerapkan peraturan untuk kewajiban plasma 20 persen.
Di lain sisi Rimbun juga mengakui persoalan plasma yang sulit terealisasi ini akibat adanya oknum pejabat di tingkat pusat ikut cawe-cawe alias menekan pemerintah daerah untuk melindungi oknum perusahaan perkebunan tertentu.
“Sulitnya ini juga karena ada kepentingan oknum di pusat dan menekan daerah kalau sudah membicarakan plasma atau kewajiban. Jadi oknum ini berkolaborasi dengan oknum PBS untuk menghindari kewajiban pemberian plasma 20 persen tersebut,”bebernya.
Rimbun pun mengakui saat ini kelompok dan sejumlah elemen masyarakat semakin memperkuat diri bahkan mengkonsolidasi kelompok masyarakat juga untuk melakukan aksi serupa di beberapa perusahaan perkebunan.
“Kita tidak bisa melarang mereka menuntut hak 20 persen itu, dan juga kita tentunya tidak juga melarang aparat penegak hukum untuk terjun karena itu bagian dari tugas dan fungsi mereka,”tegasnya.
Rimbun menyebutkan semangat persatuan masyarakat saat ini kian terlihat untuk bersama-sama memperjuangkan plasma tadinya. Sehingga, kata dia tuntutan 20 persen ini bukan lagi dianggap sepele karena berpotensi menggoyang kondusifitas daerah itu sendiri.
“Karena saat ini emosi masyarakat kita tengah dibakar dengan bahasa Dayak Bersatu, dan saya pun siap menjadi barisan terdepan bagi masyarakat untuk memperjuangkan plasma 20 persen ini sekalipun melalui aksi unjuk rasa di lapangan,” pungkasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post