SAMPIT – Seakan bertolak belakang dengan keadaan sekolah-sekolah di kota yang memiliki fasilitas lengkap, kondisi sekolah-sekolah yang ada di desa sangat memprihatikan dan bahkan untuk memiliki ruangan kelas yang memadai saja sekolah harus menunggu bertahun-tahun antrian anggaran dari pemerintah.
Seperti yang dialami Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Parenggean, di mana guru-guru harus menampung air hujan yang masuk menggunakan ember lantaran atap sekolah yang bocor.
“Karena kebanyakan ruang kelas sudah rusak ringan dan yang paling parah itu di kantor kepala sekolah. Bahkan saya harus menampung menggunakan tiga ember waktu awal saya menjadi kepala sekolah di sini,” kata Kepala SMPN 3 Parenggean, Yutam Wiler, Sabtu 13 Maret 2021.
Guru disebut sebagai pahlawan karena tugasnya yang cukup berat dalam mendidik murid-murid. Mendidik begitu banyaknya siswa dan memastikan mereka agar menjadi manusia yang bijak bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, masih banyak guru di Indonesia khususnya di Kotim yang belum sejahtera, bahkan untuk mendapatkan kantor yang layakpun masih terbilang sesuatu yang istimewa di tengah banyaknya gedung-gedung mewah saat ini.
“Kerusakan sekolah sudah kami laporkan dan usulkan melalui Data Pokok Pendidikan (Dapodik), semoga segera ditindaklanjuti dan diberikan bantuan. Terserah pemerintah saja mau merenovasi ringan, sedang atau berat. Kami hanya bisa menunggu sekolah kami diperbaiki,” ujarnya.
Menurutnya, SMPN 3 Parenggean sejak didirikan hingga sekarang belum pernah mendapatkan renovasi sehingga keadaan sekolah sudah mulai keropos khususnya atap sekolah dan atap mushola yang terbuat dari sirap.
“Saya baru dua tahun pindah, ruang kantor saya itu bocor. Sampai dipasang ember agar tidak banjir dan kami tambal sendiri atapnya, kemarin kami naik ke atap untuk memperbaiki malah tambah rusak karena sudah keropos, jadi kami tambal menggunakan seng (aluminium) saja sedikit-sedikit dari bawah disisipkan di atap yang bocor. Alhamdulillah tidak bocor lagi,” tambahnya.
Dirinya mengaku, jika ada kerusakan sekolah yang terbilang kecil atau belum parah pihaknya masih bisa menangani kerusakan tersebut menggunakan dana BOS dan selain bangunan sekolah yang rusak, mushola juga belum ada perbaikan sama sekali sejak dirinya masuk tahun 2018 silam.
“Kami berharap pemerintah bisa membantu, karena kalau mau merehab total dananya tidak mencukupi. Jadi kami hanya rehab ringan saja, kemarin dapat bantuan dari DAK dan dana itu yang kami gunakan untuk memperbaiki atap mushola, sehingga anak-anak dan para guru sudah bisa menggunakan mushola itu,” ungkapnya.
Disamping itu, dirinya selalu mengikuti Musrenbangdes tiap tahunnya dan selalu mengusulkan perbaikan sekolah, namun hingga saat ini sekolahnya belum juga dilakukan perbaikan, meski demikian pihaknya tetap bersabar menunggu hingga pemerintah melirik sekolahnya untuk diperbaiki.
“Kami juga berharap ada mes siswa, ada bekas yang sudah lama namun sudah tidak bisa digunakan lagi. Rencananya mau kami usulkan agar di robohkan dan dibangun ulang, karena siswa kami ini jauh-jauh. Ada yang di perusahaan dan di desa lain. Kasihan, kalau ada siswa yang kurang mampu mereka bisa menginap di mes siswa ini,” jelasnya.
Terlebih lagi jika cuaca sedang buruk membuat para siswa kesulitan datang ke sekolah apalagi yang jarak rumahnya jauh, hal ini dikarenakan sekolah mereka yang berada di atas bukit. Tidak hanya mes siswa, dirinya juga berharap dibangunkan mes guru, karena para guru juga berada jauh dari sekolah dan tersebar atau tidak terkumpul dalam satu titik.
Pihaknya juga memerlukan adanya ruang kesenia, karena mereka kesulitan untuk menampung hasil karya anak-anak selama ini, di mana diketahui ada kurang lebih 165 siswa atau siswi yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
“Masih banyak kendala yang dihadapi dan kita juga tidak memiliki saluran drainase. Mengingat lahan sekolah adalah tanah dan berada di atas bukit, kalau hujan di masa yang akan datang tanah bisa terkikis atau longsor. Sehingga mengakibatkan bangunan sekolah bisa miring atau bahkan roboh,” lanjutnya.
Selain permasalahan bangunan sekolah, Yutam juga menambahkan pihaknya kekurang tenaga pengajar terutama guru Pendidikan Agama Kristen, Seni Budaya, Prakarya dan PJOK.
“Kami sudah mengusulkan beberapa tahun lalu, memang ada dikirim dua guru baru, namun yang dikirim guru kontrak dijurusan yang sama. Jadi menumpuk guru kami, jurusan IPS dan IPA. Sementara IPA guru kami sudah ada 2 dan IPS 2, kami cuma ada 6 kelas. Jadi dua guru saja sudah cukup, kalau tiga mengajar apa mereka,” pungkasnya.
(dia/matakalteng.co.id)
Discussion about this post