SAMPIT – Sekarang ini sering kita temui fenomena yang tak lazim, dilihat dari yang dilakukan khususnya para kepala daerah yang melakukan tugasnya sebagai pimpinan daerah, mencuri perhatian publik dalam bersikap melaksanakan tugas.
Pengamat Sosial dan Politik Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) M Gumarang mengatakan, dimana hal yang dilakukan itu bersifat menimbulkan hingar-bingar yang mengundang kuli tinta yang haus dengan berita dan tak mau melewatkan sedikitpun atas kejadian tersebut lepas dari liputan.
Hal ini mengingat oleh para jurnalis merupakan fenomena kejadian langka yang berdimensi pada setiap orang memahami hakikat permasalahan tersebut, karena yang terlihat hanya permukaannya saja.
Menurutnya, kejadian fenomena tersebut bisa kita temui misalnya pada gaya kepemimpinan wali kota Surabaya Tri Rismaharani, berbeda pula dengan gaya kepemimpinan Bupati Boltim, Sehan Salim Landjar yang pernah marah-marah, memaki-maki terhadap Menteri Kesejahteraan Sosial berkaitan masalah BLT yang dinilai Bupati Boltim berbelit-belit atau menyusahkan masyarakat.
“Mungkin sekarang banyak kepala daerah terobsesi gaya kepemimpinan mantan Walikota Surabaya Tri Rismaharani yang terkenal gaya inspeksi mendadak (Sidak) dengan gaya komunikasinya yang menimbulkan hingar-bingar yang membuat para jurnalis menjadikan kejadian tersebut sebagai objek atau bahan berita yang bernilai tinggi dari presfektif pemberitaan,” sebut Gumarang, Jumat 18 Juni 2021.
Dan hal ini lanjutnya, membuat Tri Rismaharani semakin terkenal se Indonesia walaupun hanya sebatas seorang wali kota sehingga sekarang menjadi Meteri Kesejahteraan Sosial.
“Tren gaya kepemimpinan Kepala Daerah dengan gaya sidak yang diwarnai dengan gaya komonikasi yang membuat hingar-bingar dan mengundang kuli tinta untuk meliput seakan kuli tinta tak peduli berita lain, ini namanya seperti mencuri perhatian publik yang sedang terlelap tidur, kemudian tersentak bangun seakan mendengar berita menggembirakan yang dinanti-nanti masyarakat seakan telah terjawab sudah,” ujarnya.
Kejadian atau sikap kepala daerah seperti itu menurut Gumarang, memang sulit masyarakat awam membedakan apakah sikap atau tindakan tersebut prestasi atau politik sensasi.
“Hal ini bisa di analisis bagi yang punya kemapuan karena kejadian yang dilihat baru permukaan saja. Masyarakat akan mengetahui hakikat sebenarnya setelah bagaimana kelanjutan akhir dari cerita tersebut. Masyarakatpun setelah tahu dari akhir cerita tersebut bisa saja tersentak, kaget, kecewa, tertipu, marah pokoknya bercampur aduk di dalam hati masyarakat,” tegasnya.
Untuk mengetahui sikap dan tindakan yang membedakan apakah prestasi atau sensasi politik, disebutkan Gumarang maka perlu dilihat unsur kualitas tindakan, komunikasi dan apakah sudah memenuhi aturan, memiliki kecukupan kompetensi, melibatkan semua pemangku kepentingan terhadap objek tersebut.
“Dan apakah melibatkan pihak penegak hukum kalau misalnya mengandung unsur kejahatan atau tindak pidana maka melibatkan pihak kepolisian dan polisi meliter (bila dipandang perlu) dan/atau selain itu pula berisiko tinggi terhadap keamanan kepala daerah yang melakukan sidak yang berkaitan dengan kejahatan tanpa melibatkan kepolisian,” jelasnya.
Resiko tidak melibatkan pihak kepolisian saat kepala daerah melakukan sidak bilamana yang berkaitan diduga adanya kejahatan yang merupakan sudah masuk ranah polisi, maka nanti polisi sulit menemukan barang bukti dan tersangka, hal tersebut cukup beralasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memproses hukumnya karena tidak cukup bukti.
“Sehingga nanti masalahnya atau kasusnya tak berujung dan tak bertepi, dan hal ini harus menjadi pertanyaan dalam benak publik yang cerdas apakah kejadian tersebut adalah antara fakta dan dusta diantara kita atau antara prestasi dan politik sensasi,” tandasnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post