SAMPIT – Usai disahkannya Undang-Undang Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), aksi demonstrasi bermunculan diberbagai daerah di Indonesia. Aksi tersebut bertujuan untuk menolak adanya UU tersebut.
Hal inipun tentunya menjadi sorotan semua pihak, ini juga menjadi pembahasan anggota DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
Salah satunya yaitu Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kotim, Parimus mengatakan, dirinya menolak dengan tegas Undang-Undang Cipta kerja yang disahkan oleh DPR RI. Itu sejalan dengan sikap politik dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
“Seluruh kader dan fraksi Partai Demokrat menyatakan sikap tegas menolak dan meminta agar Presiden segera menerbitkan Perpu untuk UU Cipta kerja tersebut,”tagasnya kemarin saat dikonfirmasi.
Lanjutnya, Partai Demokrat mendukung penuh adanya judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang sapu jagat tersebut. Dikatakannya Partai Demokrat menolak UU Cipta Kerja karena regulasi ini dinilai tak memiliki urgensi.
“Apalagi masyarakat Indonesia tengah dihadapkan pandemi Covid-19 yang belum juga selesai. Undang-Undang Cipta Kerja ini juga dinilai menguntungkan pebisnis. Sedangkan beberapa kelompok, seperti pekerja, petani, nelayan, dan lain-lain tak diperhatikan,” ungkapnya.
Ia meyakini bahwasanya UU tersebut hanya berpihak kepada konglomerat saja, jika dibandingkan untuk kepentingan buruh menurutnya sangat kecil sekali dibela dalam UU tersebut.
“Banyak pasal-pasal controversial yang dihilangkan dari UU sebelumnya, misalnya mengenai status kerja. Dalam Pasal 56 UU Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Sementara dalam Omnibus Law Ciptaker, ketentuan Pasal 59 itu dihapus,” sebutnya.
Dijelaskan Parimus, dengan penghapusan pasal ini, tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.
“Jika diteliti dalam UU sebelumnya, Negara punya kewenangan memaksa perusahaan untuk meningkiatkan status pekerja kontrak, namun pasal itu dihapus artinya Negara tidak bisa memaksa lagi,” terang legislator tiga periode di DPRD Kotim ini.
Dengan demikian, menurutnya akan muncul kesewenangan perusahaan kepada buruh itu sendiri. Parimus juga meyebutkan, UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tak mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak.
“Jika hal tersebut tak dilakukan, maka pengusaha dapat terkena sanksi pidana. Namun dalam UU Ciptaker menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan tersebut, yakni pasal 184 UU Ketenagakerjaan,” jelasnya lagi.
Sehingga lanjutnya, pihaknya dengan tegas menyatakan sikap menolak UU Omnibus Law Ciptaker tersebut.
“Jelas sekali UU ini membuat buruh dan rakyat kita jadi sengsara. Jangan sampai masyarakat menjadi kesusahan dirumahnya sendiri,” tutupnya.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post