SAMPIT – Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan beberapa hari lalu di gedung DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), atas kasus sengketa lahan kuburan di Jalan Jendral Sudirman Km 6,5 sempat memanas.
Pasalnya perusahaan yang bersangkutan yaitu PT Betang Ekaprima tidak mau menyebutkan indentitas perusahaan dan bersi keras dengan hak mereka yang memiliki HGB sah dari pemerintah setempat.
Anggota DPRD Kotim Rimbun mengatakan, dalam hal ini seharusnya pemerintah daerah (Pemda) mendukung lintas agama yang memperjuangkan lahan kuburan atau lahan untuk rumah masa depan tersebut.
“Karena ini memang hak lintas agama sesuai dengan SK Bupati Kotim tahun 1991, yang menyebutkan di lahan tersebut seluas 150 Ha akan dijadikan pemakaman umum,” ujarnya, Jumat 7 Agustus 2020.
Menurutnya, kasus ini sejak 2015 tidak ada kejelasan. Meskipun pihak perusahaan memiliki HGB sah yang dikeluarkan oleh pemda setempat, namun SK Bupati Kotim tahun 1991 itu juga sah.
“Pemerintah daerah yang salah, kenapa menerbitkan HGB untuk perusahaan, padahal sudah ada SK tahun 1991 itu. Berdasarkan SK tersebut, hak warga berarti tidak berubah. Dan lintas agama yang mempertahankan lahan itu harusnya di dukung pemda, namun saya lihat tidak ada dukungan sama sekali,” tegasnya.
Lanjutnya, sisa lahan tersebur yaitu yang 10,4 Ha harus di sertifikat nama masyarakat, kalau tidak berarti pemda tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
“Urusan perusahaan silahkan gugat pemda yang menerbitkan HGB itu. Warga tidak perlu tahu urusan ini, karena ini urusan perusahaan dengan pemda. Kalau ini tidak selesai padahal akan segera pilkada di Kotim, hal ini bisa membuat suasana tidak kondusif. Maka harus segera diselsaikan,” ungkap Rimbun.
Akan Terus Perjuangkan Hak Masyarakat
Sementara itu, Kuasa Hukum Lintas Agama dalam kasus sengketa lahan di jalan Jendral Sudirmkan Km 6,5, Sampit Kabupaten Kotawaringin (Kotim) menyatakan pihaknya akan terus maju untuk memperjuangkan hak masyarakat atas lahan pemakaman yang di sengketakan tersebut.
“Sebelumnya saya sudah menyurati semua instansi terkait pada tanggal 6 Februari untuk sama-sama turun kelapangan mengecek lokasi yang di sengketakan tersebut. Namun malah mereka ada rapat sendiri pada tanggal yang bersamaan, padahal saya mengirim surat itu 11 hari sebelumnya,” ujar Supianur selaku kuasa hukum lintas agama, Jumat 7 Agustus 2020.
Ia mempertanyakan hal tersebut, apakah ada indikasi lain sehingga tanggalnya sengaja di samakan dengan tanggal undangan yang ia buat. “Sejak tahun 2000 ini sudah ada permasalahan, saya masih ada dokumennya jika diperlukan. Dan sisa tanah disebutkan 10 Ha, padahal berdasarkan data BPK sisanya itu 45,70 Ha,” tegasnya.
Untuk itu dirinya menyatakan menolak hasil rapat pada tanggal 17 Februari 2020 lalu. Dan atas pernyataan pihak perusahaan yaitu PT Betang Ekaprima yang mengatakan kasus ini tidak pernah ada sebelumnya, Supianur menegaskan menolak itu karena dari data yang ia pegang kasus ini sudah ada sejak lama.
“Saya juga meminta ketegasan tindaklanjut apa yang rill setelah rapat tanggal 17 kemarin. Masyarakat yang punya surat sah agar bisa dikedepankan hak-haknya oleh pemda,” ujarnya. Ia mengaku siap jikalau pihak perusahaan tetap bersi keras hingga kejalur hukum. Karena dirinya yakin dengan data yang ia miliki untuk kepentingan masyarakat tersebut.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post