Oleh: Muhammad Yasir****
Saya harus memacu kuda besi yang sudah cukup tua dan dipercayakan oleh Mata Kalteng yakni sebuah media pemberitaan yang beroperasi dan berkontribusi mencakup wilayah Kalimantan Tengah. Karena saya harus tiba di Sampit, Kotawaringin Timur (Kotim) untuk suatu kepentingan pribadi.
Melintasi jalan laterit merah berbatu, melihat pepohonan baru yang lahir — saya tidak mengenal pohon sejak kecil dan orang bilang itu pohon sawit — serta angin yang berhembus sedikit berbeda.
Saya berpikir, saya harus selamat dan tiba tepat waktu di Sampit. Namun, untuk kali kedua tradisi yang ada di desa tetangga, Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, yaitu Mamapas Lewu atau membersihkan desa dari bala atau roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan orang-orang di desa.
Kuda besi saya berhentikan di tepi jalan, kemudian saya turun dan berjalan perlahan hingga berada persis di bawah benang merah yang membentang lengkap dengan kain kuning dan merah yang berguntai di tengahnya.
Saya mengambil foto untuk kepentingan arsip seraya bertanya kepada diri sendiri: apakah Mamapas Lewu masih se-sakral pra Tumbang Anoi pada abad 19? Jika masih sakral, mengapa bala masih menghantui desa?
Namun, sesuatu yang menunggu saya di Sampit mengharuskan saya untuk bergegas. Saya bergegas meninggalkan benang merah yang membentang itu. Sepanjang perjalanan kain kuning dan kain merah yang bermakna perempuan dan lelaki itu hidup dalam kepala saya.
Seakan-akan mereka berkata: kalian adalah generasi pelupa yang perlahan-lahan digerus kemajuan zaman yang mundur.
Dua kilometer melewati Simpang Bangkal, kuda besi itu tiba-tiba mati persis di hadapan sebuah rumah yang di pekarangannya berdiri dua Sapundu atau Pantak; patung yang menggambarkan lika-liku dan status seseorang yang telah naik ke Sorga semasa hidupnya dalam khazanah Kaharingan.
Kali kedua saya turun dari kuda besi itu dan mencoba memeriksa penyakit kuda besi itu, namun karena saya seorang awam menyoal permesinan saya memutuskan untuk mengengkol dan mengengkol hingga, mungkin, 10 menit kemudian kuda besi itu menyala. Dan saya kembali bergegas.
Relevansi Mamapas Lewu
Bagi sebagian orang yang percaya bahwa kemajuan dapat dilihat secara fisik, seperti teknologi Mamapas Lewu tidak lain merupakan kebiasaan kuno orang-orang Dayak yang notabe mempercayai tradisi tersebut sebagai cara lain untuk menjaga stabilitas dan ekosistem kehidupan.
Perspektif ini sangat bias. Mengapa? Jika kita tersekte pada pola berpikir rasional dan irasional, maka Mamapas Lewu akan diklaim sebagai “yang irasional”. Namun, mari saya mengajak anda sekalian untuk melihat Mamapas Lewu dalam konteks relasi kuasa antara alam dan manusia atau manusia dan alam.
Secara harfiah alam tidak membutuhkan manusia, tetapi sebaliknya. Dalam neraca kebutuhan sandang, pangan, dan papan manusia menempati urutan pertama sebagai penyebab rusaknya stabilitas dan ekosistem alam. Mereka, manusia-manusia, memiliki kemampuan untuk mendominasi sekian juta kekayaan alam yang ada di Bumi dengan berbagai cara ekspansi pula.
Pada fase ini, jika kita bersepakat pada “yang rasional” maka manusia-manusia-lah yang merupakan “bala” itu. Oleh sebab itu, Mamapas Lewu, menurut hemat saya (silakan kritisi atau bantah asal bertanggungjawab), menjadi “yang rasional”.
Satu patok tegas sebagai dasar bagi kita untuk membaca hari esok, lusa, dan tahun-tahun berikutnya ialah melihat gejala aneh yang dialami oleh manusia, seperti perasaan tidak puas atas apa yang dimiliki, seperti harta, tahta, dan kuasa.
Seolah-olah, mereka menganggap mampu menguasai Bumi dengan otak dan kekufuran mereka. Dan ya, saya hampir lupa ini; sesuatu yang penting menunggu saya di Sampit, saya bergegas.
Kita yang Pelupa
Selama berdiaspora di Yogyakarta selama bertahun-tahun dengan alasan pendidikan dan menjadi yang berbeda, saya merasa bahwa posisi kebudayaan — Mamapas Lewu juga merupakan prodak dari kebudayaan — setara kain sutera yang direndam dalam kolam merkuri dari raksa untuk menyatukan emas.
Ada banyak kompleksitas, baik kepentingan politik serta mandulnya pola pendidikan di Kalimantan Tengah (Kalteng) menyebabkan kebudayaan tersub-altern bahkan, mengerikannya, dijadikan sebagai ladang pendapatan atau dikomersilkan tanpa adat! Dan ya… kondisi demikian, mestinya, merupakan persoalan pelik yang harus diselesaikan.
Namun, bukan rahasia umum, bahwa kebanyakan manusia (banyak, tidak semua) meletakkan uang sebagai benda yang memiliki kuasa setara Tuhan. Karena setara itulah, uang membuat kita lupa banyak hal. Salah satunya, Mamapas Lewu.
Tidak sampai di situ. Mari saudara sekalian, melalui tulisan pendek di Mata Kalteng ini saya mengajak saudara sekalian untuk melihat lebih dalam dan kritis kondisi sosial masyarakat, terkhusus generasi aneh yang mereka sebut “millenial”.
Adakah diantara mereka mengerti apa itu Mamapas Lewu? Pada kenyataannya, mereka lebih suka menjadi gelembung ombak yang pecah sebelum sampai ke daratan atau menjadi bagian “pelupa” tadi. Sementara itu, di mana posisi kita? Bukankah kita juga sibuk melupakan itu, karena sibuk berusaha untuk tetap hidup lebih mulia dari seekor anak tupai ?
Tabik, Istriku tercinta sudah tiba di Sampit. Kuala Pembuang, 2020.
(Penulis adalah wartawan matakalteng yang berdomisili di Kabupaten Seruyan)
Discussion about this post