Oleh: Muhammad Yasir***
Mula-mulanya kepulangan saya ke kampung halaman, Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng) beberapa hari lalu sekadar untuk merayakan hari besar ummat Islam di dunia. Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijiriah bersama sanak famili. Namun dalam perjalanannya, saya menemukan suatu masalah yang harus dibicarakan secara serius oleh intelektual dan pemerintah Indonesia.
Namun sebelum saya membawa anda langsung ke dalam topik pembahasan tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk bersama-sama mencari jawaban atas pertanyaan ini: jika kita adalah anak-anak yang mampu membaca angka kematian akibat wabah pandemi coronavirus disease (Covid-19) di dunia, apa yang akan kita lakukan?
Berangkat dari pertanyaan itu, saya menarik satu garis tegas bahwasanya pemerintah Indonesia terkesan menutup-nutupi angka kematian anak akibat Covid-19 yang mestinya menjadi perhatian serius para orangtua untuk menjaga anak-anak mereka. Jika demikian, kita harus sepakat bahwa pemerintah Indonesia abai terhadap keselamatan generasi penerus bangsa kita.
Sekarang mari kita baca dan renungi secara seksama-jangan lupa seduhlah kopi, jika ada:
Tidak ada di antara mereka yang berteriak lantang, “Tolong selamatkan kami dari Covid-19!” mereka diam, sesekali tertawa sembari berlari di jalan yang dibuat dari kayu-kayu ulin yang berujung ke tepi danau. Ada juga diantara mereka berenang di danau dengan pelampung tank lima liter dan kaki mereka membuat gelombang-gelombang kecil.
Saya mengamati mereka dengan seksama sesekali mengenang masa kanak-kanak saya yang telah lalu. Kemudian dua orang dari mereka menghampiri saya dan memandang kamera di tangan saya. Maaf, mereka hanya memandang dan tidak berani untuk memegang. Bahkan bertanya sekalipun.
Para orang tua, lelaki dan perempuan, sibuk menjahit jala mereka dan menimba perahu sembari sekali dua bertanya bagaimana mereka bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Cukup sampai disitu, mereka tidak lagi bertanya lebih jauh karena saya tidak bisa memberikan suatu jawaban yang meyakinkan.
Perhatian saya kemudian beralih kepada beberapa orang anak-anak yang duduk di ujung jalan jembatan kayu itu. Mereka duduk termangu, tidak bicara suatu apa. Tangan mereka yang mungil senantiasa memegang joran pancing yang tidak begitu panjang dan tentu saja tidak mahal; harap-harap seekor atau lebih ikan mereka dapatkan untuk makan malam.
Memperhatikan mereka, bagi saya, sama seperti membayangkan masa depan kehidupan di Tanah Air. Betapa tidak, anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang tersubaltern atau tidak pernah diperhitungkan. Mereka dibiarkan tumbuh seperti rerumputan liar; beruntunglah bagi mereka yang bisa hidup lebih lama, sebelum kemudian ditebas atau disemprot pestisida.
Karena itu, naluri saya bekerja.
Sebagai seorang jurnalis daerah pemula yang memiliki asa yang kuat untuk belajar, saya mencoba mengulik-ngulik bagaimana kinerja pemerintah Indonesia dalam melindungi generasi penerus bangsa kita. Dan, hasilnya membuat saya mengelus dada.
Voice of America (VOA) kanal Indonesia, sebuah media daring yang berbasis di Amerika Serikat menerbitkan sebuah catatan lapangan per tanggal 30 Mei 2020 bertajuk “Tingkat Kematian Anak Indonesia Akibat Covid-19 Tertinggi di ASEAN” oleh Ghita Intan yang menunjukkan kepada saya bahwa “hingga 18 Mei lalu, jumlah anak yang positif Covid-19 di Indonesia mencapai 584 kasus. Sementara untuk jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) anak tercatat kurang lebih 3.400. Jumlah kasus konfirmasi positif anak yang meninggal sejauh ini mencapai 14 anak. Adapun PDP anak yang meninggal sebanyak 129.”
Berdasarkan kesaksian Ketua Ikatan Dokter Anak Indoensua (IDAI), Aman Pulungan hal ini dikarenakan tingkat pemeriksaan atau deteksi dini pada anak yang masih relatif rendah. Sampai detik ini, ia tidak pernah melihat pemerintah melakukan pemeriksaan khusus untuk anak. Anak, hanya akan diperiksa kalau orang tuanya terbukti positif virus corona.
“Karena memang jumlah anak yang diperiksa paling sedikit kan, dan banyak yang di screening di mall, kantor, asrama, pasar, bandara, anak-anak kan tidak masuk yang di screening. Jadi anak-anak yang kita periksa itu adalah anak-anak yang memang sudah ada gejala. Atau kalau misalnya orang tuanya ada gejala baru (diperiksa). Jadi tidak ada, karena kalau misalnya anak batuk pilek kan tidak semuanya langsung diperiksa kan,” jelasnya dilansir dari VOA.
Tingginya kasus penularan virus corona pada anak-anak di Indonesia juga dibenarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Hingga 28 Mei 2020 lalu, total kasus anak-anak yang terpapar Covid-19 mencapai lima persen dari total kasus yang dilaporkan ke pemerintah.
Pada awal Maret 2020 lalu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) menyatakan gejala Covid-19 pada anak-anak tidak fatal seperti orang dewasa. Namun belakangan, mereka merevisi pernyataan tersebut dengan menyebut bahwa gejala anak yang terinfeksi virus corona mirip dengan kondisi Multisystem Inflamatory Syndrome in Children (MIS-C).
MIS-C adalah kondisi ketika ada bagian tubuh anak yang meradang, seperti jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, mata, hingga organ pencernaan. CDC menjelaskan virus corona memang ditemukan pada anak maupun orang dewasa yang menderita MIS-C.
Kondisi ini kemudian menjadi ironi ketika pemerintah Indonesia mewacanakan akan diberlakukannya new normal di Indonesia. Wacana ini, menurut saya harus ditolak, karena sampai sekarang pemerintah Indonesia belum efektif memerangi Covid-19.
Apa sebenarnya new normal dan kenapa harus ditolak?
Secara definisi, new normal merupakan upaya mempercepat penanganan wabah pandemi Covid-19 di sektor kesehatan, ekonomi, dan sosial yang nantinya akan dijalankan dengan mempertimbangkan persiapan daerah dan epidemiologis di wilayah-wilayah yang siap/
World Healty Organization (WHO) sudah menyiapkan pedoman peralihan menuju new normal selama wabah pandemi Covid-19. Ada pun isi protokol tersebut menyatakan bahwa negara harus memiliki kemampuan mengendalikan atau memerangi penularan Covid-19.
Oleh sebab itu Presiden Jokowi meminta seluruh jajarannya mempelajari kondisi lapangan untuk mempersiapkan tatanan normal yang baru di tengah pandemi COVID-19. Saat ini sudah ada 4 provinsi serta 25 kabupaten/kota yang tengah bersiap menuju new normal.
Dan apa yang diinginkan pemerintah Indonesia?
Jika mengkomparasikan jumlah kematian anak-anak Indonesia akibat terpapar Covid -19 dengan wacana pemerintah Indonesia, saya menyimpulkan sementara bahwasanya ketakutan pemerintah Indonesia terhadap wabah pandemi Covid-19 bukan pada angka kematian Warga Negara Indonesia, melainkan bayang-bayang krisis yang sudah mengglobal.
Sekarang mari kita pikirkan jawaban pertanyaan ini: bagaimana mungkin suatu negara berkembang yang semuanya serba berkembang (bukan maju) dengan berani mewacanakan new normal sementara untuk mendirikan laboratorium pembuatan vaksin saja tidak mampu? Itu sama saja dengan bunuh diri massal dan genosida.
Hari sudah mulai tua. Dunia mulai berwarna oranye. Seorang anak berlalu di samping saya. Saya duduk mengamati suasana yang aneh dan menyedihkan; tentang bagaimana kehidupan mereka selanjutnya, jika negara yang semestinya melindungi mereka menjadikan mereka sebagai taruhan dalam perjudian ekonomi global.
(Kuala Pembuang, Yasir adalah jurnalis matakakteng.com di Seruyan)
Discussion about this post