SAMPIT – Selain sidang pidana, kasus pengrusakan hutan yang menyeret M Abdul Fatah juga menjalani sidang perdata. Dimana dalam sidang sebelumnya, pihaknya mengajukan proposal perdamaian.
Namun dikatakan oleh Irmansyah dari Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya, pihaknya menolak proposal perdamaian tersebut.
Hal itu dikatakannya usai sidang mediasi perdata dipimpin hakim mediator Ike Liduri pada Senin, 25 Januari 2021 di Pengadilan Negeri Sampit. “Kita tunggu saja keputusan dari pengadilan, langkah selanjutnya kami menunggu keputusan sidang pidana dan perdatanya yang akan terus berproses,” tegasnya, Senin 25 Januari 2021.
Sementara itu, dirinya enggan berkomentar terkait penangkapan terhadap penggugat dengan alasan itu nanti akan dijelaskan oleh saksi ahli. “Karena permasalahan ini sudah masuk dalam proses persidangan untuk pidananya. Jadi yang berwenang menjawan itu saksi ahli,” ujarnya.
Bahkan terkait posisi lahan apakah masuk areal kawasan hutan yang kini dikelola oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI), dirinya juga memilih tidak memberikan berkomentar. “Kasus ini bukan dari laporan, melainkan temuan dari patroli yang dilakukan,” ungkapnya.
Terpisah, Kuasa Hukum M Abdul Fatah yakni Rendha Ardiansyah mengatakan, justru pihaknya tidak keberatan jika perdamaian itu di tolak. Karena menurutnya, akan lebih baik proses perdata tersebut berlanjut pada sampai pembuktian.
“Sesuai dengan bukti-bukti yang kami miliki, tanah tersebut legalitasnya jelas dan sudah masuk dalam program TORA, yang artinya penangkapan yang dilakukan oleh pihak tergugat ilegal karena peraturan presiden (Perpresk Nomor 88 Tahun 2017 sangat jelas mengatur, bahwa tindakan mereka itu dilarang namun tetap dilakukan,” beber Rendha.
Dirinya juga menyebutkan, dalam ranah pidana saksi pihak HTI mengatakan bahwa mereka punya kewajiban untuk mengamankan kawasan milik HTI tersebut.
“Artinya jika tindakan yang dilakukan oleh pihak tergugat merupakan operasi seharusnya bukan di kawasan izin HTI. Karena yang memiliki wewenang mengamankan adalah HTI, walaupun tidak langsung masuk dalam tindak pidana harus dibawa dalam forum mediasi dulu,” jelasnya.
Dikatakannya, pihaknya menemukan titik permasalahannya. Pihaknya merasa perkara ini terlalu dipaksakan, karena sudah jelas dari pihak instansi pemerintah tidak boleh melakukan penangkapan karena sudah masuk dalam program TORA.
“Kemudian ini kenapa sampai ditangkap, sekarang secara logika bisa berpikir ini adalah sesuatu yang janggal. Sampai dalam sidang pidanapun HTI dijadikan saksi, apa kepentingan HTI ini sendiri kalau ini adalah operasi,” tegasnya.
Sedangkan dari hasil mediasi ini sendiri, menurutnya pihaknya tidak jadi masalah di tolak, jusru ini bisa menguatkan nanti pada sidang pembuktian perdata.
(dia/matakalteng.com)
Discussion about this post