Oleh: DIAN TARESA ***
SAMPIT – Ditengah sulitnya mencari penghasilan saat ini, lantaran pandemi Covid-19 yang menghantam semua sektor perekonomian. Iyam (70) nenek paruh baya ini tetap semangat mengais rezeki. Meski dirinya tahu hal ini tidaklah mudah, namun ia tetap tersenyum sembari menatap dagangannya.
Iyam merupakan warga Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Meski sebenarnya dirinya lahir di tanah Jawa, namun sudah 20 tahun lamanya dirinya dan suami menetap di Sampit untuk mengadu nasib. Sejak dulu Iyam memang memiliki usaha dagang bahan makanan, bahkan dirinya termasuk pedagang sukses di Sampit karena bekerjasama dengan salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Dulu waktu saya masih bugar, saya punya toko sembako yang lumayan besar. Bahkan saya memasok bahan makanan untuk para karyawan salah satu perusahaan kelapa sawit yang ada di Kotim,” ujar Iyam sambil tersenyum manis mengingat kenangan masa kejayaannya dulu, Rabu 28 Oktober 2020.
Namun seiring berjalannya waktu, Iyam dan suaminya yang terpaut jarak usia 10 tahun lebih muda dari dirinya yakni Ujang (60) semakin menua. Lantaran usia yang sudah tidak muda lagi itu, mereka berdua memilih untuk mengurangi barang dagangan agar bisa sedikit beristirahat.
Awalnya usaha mereka masih berjalan lancar, berjualan camilan dan minuman dengan penghasilan kurang lebih Rp600 ribu hingga Rp700 ribu setiap harinya. Dengan nada lirih dan bergetar khas suara seorang nenek, Iyam menceritakan bagaimana kesehariannya sejak virus korona mewabah di Kotim. Dirinya mengaku, penghasilan berdagangnya sangat menurun.
Mungkin bisa dibilang, bekerja hari ini habis juga untuk hari ini. “Setelah adanya korona ini, penghasilan menurun nak. Paling banyak dapat Rp50 ribu. Kadang tidak sampai segitu,” sebutnya dengan logat lokal.
Meski demikian, dengan tabah hati Iyam tetap bisa berkata “Mungkin karena penghasilan orang-orang juga sulit makanya tidak bisa belanja seperti dulu. Semoga penghasilan mereka juga membaik,” ujar Iyam mendoakan.
Iyam juga menceritakan, ditengah pandemi saat ini dirinya dan sang suami harus bekerja lebih giat lagi dibanding sebelumnya, agar barang dagangan mereka habis terjual. Yang biasanya hanya berjualan di rumah, sekarang Iyam harus berjualan keliling berpindah-pindah tempat mengarungi jalanan kota dengan sepeda tuanya.
Pagi-pagi sekali Iyam dan suami sudah harus bekerja, dengan berboncengan menaiki sepeda mereka menuju salah satu pasar tradisional yang ada di Sampit yaitu Pasar Subuh. Disana mereka membeli kerupuk, kacang-kacangan, roti dan minuman di agen dengan harga lebih murah.
Kemudian keduanya langsung menjual kembali disekitar pasar pada pagi hari. Setelah matahari mulai menyingsing, keduanya harus bersiap-siap kembali menuju tempat berdagang selanjutnya. “Pagi sekali kita berjualan di Pasar Subuh, kalau sudah mulai siang kita pindah tempat berjualan di pinggiran Taman Kota Sampit,” kata Iyam.
Keduanya berangkat, mengayuh sepeda tua dengan harapan rezeki sudah menanti di tempat selanjutnya. Dengan beralaskan satu buah karpet, dengan semangat keduanya menyusun satu per satu barang dagangan agar terlihat oleh pengguna jalan. Barang kali ada yang melirik kemudian ingin membeli.
Tepat hari ini, menurut Iyam dirinya dan suami sudah satu bulan lamanya berjualan berkeliling seperti ini. Karena ingin mendapatkan penghasilan yang cukup selama pandemi Covid-19. Pagi ini, salah satu wartawan Mata Kalteng mendatangi Iyam untuk menemani berjualan sembari membicarakan hal-hal yang membuat Iyam senang.
Kurang lebih satu jam lamanya, nampak tidak ada satupun pembeli yang menghampiri daganganya. Hanya wartawan Mata Kalteng ini yang membeli sedikit kerupuk dan minumannya. Menurut Iyam, jika dirinya berjualan berkeliling menggunakan sepeda kemungkinan besar semua dagangannya akan habis setiap hari.
Namun dirinya mengaku sudah tidak kuat lagi berkeliling jauh, apalagi saat cuaca panas seperti saat ini. Membuat dirinya lebih cepat kelelahan. Sehingga dirinya lebih memilih untuk membuka lapak kecil di pinggiran Taman Kota Sampit.
Meski demikian, Iyam tetap terlihat ceria. Beberapa kali keriput di wajahnya merekah karena tersenyum melihat kendaraan yang lalu lalang atau sesekali karena dirinya menceritakan tentang anak-anaknya yang saat ini sudah berkeluarga dan menetap di Pulau Jawa. “Anak saya ada dua, dan keduanya sudah menikah serta tinggal di Jawa,” lanjut Iyam.
Usai menceritakan sedikit tentang anaknya, Iyam kembali sibuk merapikan barang dagangannya. Meski sudah rapi, Iyam tetap saja beberapa kali memegang barang dagangannya. Meski tidak ada keluhan yang keluar darinya, namun raut wajahnya menggambarkan kelelahan dan harapan barang dagangannya cepat habis. Agar dirinya bisa cepat beristirahat.
Karena Iyam harus menyiapkan tenaganya lagi untuk berjualan nanti malam. Tidak hanya bekerja di pagi dan siang hari, Iyam masih harus bekerja pada malam hari. Namun saat malam, dirinya hanya berjualan di depan rumahnya yang letaknya tidak jauh dari Taman Kota Sampit.
Kerja rodi yang dilakukan Iyam tersebut, tidak bisa dibayangkan jika melihat rapuhnya tubuh Iyam. Dengan badannya yang kurus itu ia mengaku masih kuat untuk bekerja. Meski keuntungan yang di dapatnya tidaklah banyak, dirinya tetap bersyukur masih bisa membeli makanan dari penghasilan itu.
“Biasanya beli kerupuk di agen 10 buah seharga Rp 6 ribu, dijual lagi per buahnya Rp 1 ribu. Jadi kalau laku semua maka untungnya Rp 4 ribu,” jelasnya. Berbekal penghasilan itu, Iyam berharap bisa membawa dirinya pulang ke Jawa. Meski tidak tahu kapan bisa pulang ke Jawa, lantaran penghasilan yang sedikit ditambah dengan pandemi yang tidak kunjung usai.
“Sebelum ada korona saya pulang ke Jawa, seminggu setelah sampai di Sampit ternyata sudah ada wabah korona. Dan sampai hari ini saya tidak bisa lagi pulang ke Jawa,” ujarnya. Meski keadaan demikian, Iyam mengaku masih sering berkomunikasi dengan anak-anaknya yang ada di Jawa. Saling bertukar kabar, dan terkadang anaknya juga mengirimkan uang kepada dirinya kurang lebih Rp500 ribu.
Hiruk pikuk kota kadang membuat Iyam lupa akan sulitnya kehidupan. Pandangannya yang menatap jalanan terlihat kosong, mungkin dirinya sedang berpikir berjualan kemana lagi agar barang dagangannya bisa habis.
Sesekali Iyam juga tertawa, melihat tingkah kocak dari sejumlah pedagang yang ada di sebrang jalan tempatnya berjualan. Itulah yang menjadi hiburan untuk Iyam dan suami selagi berjualan di pinggiran Taman Kota Sampit. Pesan moralnya adalah, meski pandemi nenek Iyam tetap semangat mengais rejeki, bagaiamana dengan kita, semoga selalu mendapatkan kesehatan dan rejeki yang cukup, aminnn*
(Dian adalah wartawan matakalteng.com berdomisili di Sampit, bertugas di Kabupaten Kotawaringun Timur)
Discussion about this post