SAMPIT – Dalam menyikapi dan menghadapi jalannya pemerintahan agar tetap teciptanya stabilitas khususnya politik dan ekonomi sampai akhir jabatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) nampaknya menyadari pemerintahan sedang dalam keadaan yang kurang baik, pertama dirundung wabah Covid-19 yang tidak tahu kapan berakhirnya.
Tidak hanya itu saja, Pengamat Sosial dan Politik di Kotim yakni M Gumarang juga mengatakan, adanya isu atau tundingan masuknya komunis di masa pemerintahan Joko Widodo dan/atau komunis gaya baru, sangat kencang.
“Adanya gerakan anti investasi dari tiongkok alias anti komunis cina, pemerintahan Jokowi dianggap anti Islam, pemerintahan Jokowi kriminalisasi para ulama dan isu-isu atau tudingan lainnya yang anti atau membenci pemerintahan Jokowi,” Rabu 8 September 2021.
Lanjutnya, upaya mengamankan kebijakan yg sudah dilakukan dan yg akan datang, kelima penjajakan membangun kekuatan calon Presiden pilpres 2024, ke enam upaya menyamakan pandangan terhadap amendemen UU Dasar 45 tentang memasukan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) dan isu amandemen masa jabatan presiden tiga kali dan/atau mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi yaitu sampai 2027.
Minyikapi hal tersebut Presiden Joko Widodo pada bulan Agustus dan awal September 2021 melakukan petemuan dengan partai koalisi di parlemen maupun diluar parlemen di Istana Negara, hal tersebut bisa dinilai melakukan konsolidasi politik dan sekaligus memperkenalkan Partai Amanat Nasional sebagai anggota baru koalisi pemerintahan sebagai pendatang baru wajah lama atau pemain lama.
Pertemuan di Istana Negara antara Presiden Jokowi dengan para partai koalisi jelas aroma kental dengan politik, karena yang hadir khusus seluruh ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik koalisi pemerintahan Jokowi, kalau agenda pembicaraan mengenai permasalahan jalannya pemerintah dan pembangunan seharusnya yang diundang adalah pemangku kepentingan (Stakeholder) atau fungsi fungsi pelaksana dan/atau penyelenggara pemerintahan atau Negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bukan partai politik
Pertunjukan hadirnya partai koalisi pemerintahan Joko Widodo di Istana Negara bukan hanya sekedar konsolidasi kekuatan politik partai koalisi, tapi juga menunjukan kepada publik melalui parade partai politik tersebut bahwa pemerintahan Joko Widodo masih kuat, dipercaya rakyat yang dipresentasikan melalui eksistensi partai politik, sukses melaksanakan pemerintahan dan pembangunan, tidak ada masalah serius, serta untuk menkanter pihak yang anti pemerintahan Jokowi.
Pertemuan tersebut juga melukiskan dan memaknai bila mana ada pihak yg berupaya untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi tak akan berhasil bahkan dianggap tindakan inkonstitusional dan kriminal, sikap hal tersebut sah sah saja dari perspektif politik, namun hal tersebut ditentukan atau tergantung fakta fakta dilapangan terhadap jalannya pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yg dilaksanakan oleh pemerintahan presiden Joko Widodo sampai masa akhir jabatannya nanti.
“Fenomena parade kekuatan partai politik koalisi pemerintahan jokowi tersebut juga bisa dimaknai secara khusus mengirim sinyal politik kepada dua partai oposisi yang dinilai berseberangan selama pemerintahan Jokowi yaitu Partai Demokrat (PD) dan Partai keadilan Sejahtera (PKS) yang dinilai jelas jelas berseberangan tak mungkin menyatu atau berkoalisi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo dan/atau selama PDIP berkuasa,” jelas Gumarang.
Terjadinya berseberangan yg menajam dan bersifat permanen Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dengan pemerintahan Jokowi bukan saja sikap dan manajemen politik Jokowi tetapi tidak lepas pengaruh kuat partai pengusung utama Jokowi, yaitu khususnya PDIP yg dinilai banyak perbedaan prinsip dalam tipologi partai politik khususnya dengan PKS, sehingga tak ada kemistri politik kedua partai tersebut untuk berkoalisi, dan ini sudah berlangsung lama sejak awal keberadaan PKS.
“Lain lagi dengan Partai Demokrat bagi PDIP, sejak lahirnya Partai Demokrat sudah nampak berseberangan, bahkan masa keemasan Partai Demokrat sebagai partai yang berkuasa semasa Pemerintahan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama sepuluh tahun PDIP menyendiri menjadi partai aposisi,” tegasnya.
Adapun hal yang menyebabkan kedua partai tersebut tidak bisa berkoalisi diantaranya perjalanan hubungan personal kedua pemimpin tersebut (Megawati dan SBY) kurang harmonis hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, sehingga tak ada kemistri politiknya untuk bergabung atau berkoalisi dalam pemerintahan, entah sampai kapan hubungan politik kedua pemimpin tersebut bisa cair, namun dilihat dari karakter kepribadian ke dua belah tampaknya sulit karena memiliki perbedaan yang prinsip.
Agenda pertemuan akbar Jokowi dengan Partai koalisi Pemerintahan yg di Parlemen maupun non Parlemen di Istana Negara tersebut diperkirakan yang paling menjadi titik beratnya agenda pembicaraan adalah pada masalah amandemen UU Dasar 45 baik yang menyangkut PPHN maupun terhadap masa jabatan Presiden untuk 3 priode dan/atau perpanjangan jabatan Presiden Jokowi dalam hal ini walaupun amandemen tersebut adalah wewenang MPR tetapi isi perut MPR adalah partai politik, berarti partai politik berkepentingan langsung dalam hal kebijakan politik tersebut dan memerlukan sokongan dana dari pemerintah yang tidak sedikit jumlahnya, di satu sisi Jokowi secara tidak langsung juga punya kepentingan.
Dalam menyikapi amandemen UU Dasar 45 memasukan PPHN nampak tak terlalu interest bagi Jokowi, tapi yang menyangkut amandemen UUD 45 tentang perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 kali dan/atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi sampai 2027 hal ini menjadi jokowi berupaya menyembunyikan ketidak ketertarikan dan ketidaksetujuan dengan memperlihatkan sikap dan ekspresi wajah yg masih menjadi teka teki.
“Karena jokowi belum bisa mencairkan isu yang dilempar pihak tertentu tersebut apakah merupakan kebutuhan, aspirasi riil? atau bahkan perangkap politik atau lemparan bola liar atau bola panas bagi Jokowi,” ungkapnya.
Sehingga Jokowi berupaya mencari tahu hal tersebut untuk menentukan sikap dan perannya terhadap amandemen UUD 45 yang menyangkut perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 kali dan/atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi sampai 2027 nantinya, karena bila jokowi tak memahami isu atau wacana tersebut maka jokowi terjebak dalam permainan catur politik pilpres 2024 yg bisa membuat jokowi terperangkap, ibarat dalam peperangan terperangkap sebagai umpan peluru atau politik prank belaka.
“Suatu kejadian yang luar biasa sampai terjadi amandemen UUD 45 tentang merubah masa jabatan presiden bisa 3 kali dan/atau memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi sampai 2027, sehingga memberi ruang kepada Jokowi untuk mencalon ke tiga kalinya dan/atau ada upaya memperpanjang masa jabatan jokowi melalui amandemen UUD 45 tersebut,” sebutnya.
Analisis terhadap amandemen UUD 45 tentang masa jabatan presiden tiga kali itu suatu hal yg mustahil, karena pertama tokoh tokoh politik d internal partai koalisi saja sudah gerah dan/atau tidak sabaran untuk mengganti Jokowi, demikian juga pihak tokoh tokoh politik partai oposisi dan para pihak diluar partai yang tidak suka dengan pemerintahan jokowi juga sudah terlihat tak sabar dan bercampur geram.
Kedua di dalam tubuh partai pengusung utama Jokowi PDIP saja nampak banyak kader senior PDIP yang sudah muncul di permukaan siap untuk menggantikan Jokowi,misalnya Puan Maharani, Ganjar Pranowo, apa lagi seperti Puan Maharani sekarang sudah menduduki jabatan Ketua DPR dan anak penguasa PDIP alias partai penguasa, jelas tinggal selangkah saja lagi untuk menuju presiden atau wakil presiden, sekaligus sebagai pewaris tahta PDIP, mengingat usia Megawati yg sudah sepuh.
Ketiga karena diprediksi peralihan kekuasan di partai PDIP tanpa peran Megawati dikhawatirkan akan mendapat rintangan berat bagi Puan Maharani, dan diperkirakan Megawati sangat menyadari kondisi tersebut sebagai naluri seorang ibu terhadap anaknya.
Sebagai persiapan pilpres 2024 tentu diperkirakan Megawati akan mempromosikan putrinya untuk calon Presiden atau calon wakil Presiden pada pilpres 2024 nanti, sebelum menggantikan menjadi Ketua Umum PDIP yang tak mungkin PDIP dipimpin Megawati selamanya.
Ke empat isu amandemen jabatan Presiden tiga priode itu dilontarkan oleh segelintir orang yang sifatnya spekulan untuk tujuan tertentu, tanpa kajian yang mendalam terhadap hal mengusulkan amandemen UUD 45 tentang perubahan jabatan Presiden tiga Priode dan/atau mengusulkan perpanjangan jabatan Presiden Jokowi, sehingga bisa menjadi bola liar dan/atau bola panas bagi Jokowi atau bisa politik prank?
“Apa lagi Presiden Joko Widodo di mata PDIP khususnya Ketua Umum Megawati menganggap Jokowi hanya sebagai petugas partai sehingga hal ini menjadi angin segar dan ruang bagi partai koalisi Jokowi untuk ikut serta memainkan peranan dan membangun nilai tawar yang lebih terbuka, karena mengetahui kekuatan infrastruktur politik personal Jokowi di PDIP tersebut,” pungkas Gumarang.
(dia/hab/matakalteng.com)
Discussion about this post