PALANGKA RAYA – Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diketahui Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tergolong tinggi. Hal ini tercermin dari masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015), Angka Kematian Bayi Baru Lahir/Neonatal (AKN) yaitu 15 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2017), Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 24 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2017).
Hal ini tentunya menjadi tantangan dalam upaya pelayanan kesehatan ibu dan anak yang tentunya terkait juga pada berbagai factor resiko, yang berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kematian ibu maupun bayi.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dr.Suyuti Syamsul mengatakan penyebab langsung kematian ibu berhubungan dengan komplikasi. Komplikasi ini seperti adanya perdarahan, preeklampsia/eklampsia, infeksi akibat trauma persalinan, persalinan macet atau persalinan lama dan abortus spontan maupun abortus tidak aman ataupun berisiko.
“Selain penyebab langsung, ada juga factor tidak langsung penyebab kematian ibu hamil yang disebut dengan EMPAT TERLALU, terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan dan terlalu dekat jarak kelahiran,” ujar Suyuti, Selasa 1 Desembee 2020.
Suyuti juga menambahkan, ada juga faktor yang mempersulit proses penanganan kedaruratan kehamilan, persalinan dan nifas seperti TIGA TERLAMBAT (terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan dan terlambat dalam penanganan kegawatdaruratan) artinya masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Menangani permasalahan ini, Suyuti menyebutkan bahwa pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya dengan penetapan Kabupaten/Kota sebagai Lokus Penurunan AKI dan AKB RAN PP AKI 2016 – 2030.
Upaya tersebut berupa, Peningkatan kapasitas Nakes dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, Peningkatan Manajemen Program Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (termasuk aspek supervisi, monitoring dan evaluasi), Advokasi lintas program, lintas sektor dan organisasi profesi untuk mendukung pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
“Selain itu peningkatan peran serta masyarakat, serta pemenuhan sarana pendukung pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir diperlukan disamping peningkatan Manajemen Program Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (termasuk supervisi, monitoring dan evaluasi) merupakan Program Penyeliaan Fasilitatif Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Program KIA merupakan suatu pendekatan berbasis kendali manajemen untuk menjamin pelayanan KIA yang berstandar guna mendukung peningkatan perbaikan kinerja dan mutu pelayanan KIA di fasilitas pelayanan kesehatan dasar,” jelas Suyuti.
Lebih lanjut Suyuti menyebutkan penyeliaan Fasilitatif dilaksanakan untuk menilai kepatuhan terhadap standar secara mandiri yang kemudian dilakukan verifikasi oleh Tim Penyeliaan Fasilitatif KIA secara berjenjang dalam rangka memastikan ada tidaknya peningkatan dari mutu pelayanan secara keseluruhan.
Mengingat pesatnya perkembangan kebijakan bidang kesehatan ibu dan anak maka kajian mandiri sudah di perbaharui melalui revisi pendekatan Penyeliaan Fasilitatif Kesehatan Ibu dan Anak. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penguatan kapasitas dalam rangka memaksimalkan peran dan fungsi Tim Penyeliaan Fasilitatif Kabupaten/Kota sampai Puskesmas.
“Dan pada kesempatan ini pula, saya mengajak kita semua agar kegiatan ini dapat diikuti dengan seksama sehingga dapat bermanfaat untuk keberlangsungan pelayanan kesehatan ibu dan anak sesuai yang kita harapkan bersama, khususnya dapat menurunkan AKI dan AKB di Provinsi Kalimantan Tengah. Dan bersamaan dengan Masa Pandemi Covid-19 Era Kebiasaan Baru, saya tetap menghimbau kepada kita semua agar selalu mematuhi Protokol Kesehatan,” tutupnya.
(vi/matakalteng.com)
Discussion about this post